Aksi Rata Rata Rantai: Menjaga Gaung Pergerakan di Jember

Tegalboto – Sebuah press release kami terima pada Kamis (26/09/2019) melalui Whatsapp, mengenai aksi Rata Rata Rantai.  Isinya berupa ajakan untuk kembali merapatkan barisan seluruh elemen masyarakat.  Mulai dari mahasiswa, buruh, pelajar, petani, pekerja, pengusaha, akademisi, jurnalis, pegiat seni, pegiat literasi, serta elemen-elemen yang merasa resah dengan kondisi negara saat ini.  Semua diundang dalam tajuk ‘menjaga gaung pergerakan’, tertanda korlap (Koordinator Lapangan), Trisna Dwi Yuni Aresta.  Tuntutan utamanya, tak berubah, karena memang tak kunjung diindahkan oleh pemerintah (baca: Aksi Langsung Mahasiswa Tuai Dukungan DPRD Jember). Selain itu, sikap represif aparat kepolisian terhadap peserta aksi di berbagai kota menambah urgensi aksi ini.  Segala atribut kelompok ditinggalkan, menyisakan masyarakat yang tak puas dengan kinerja pemerintah.

Jumat (27/09/2019) pukul 4 sore, sebelah barat gedung DPRD Jember telah ramai dengan massa aksi Rata Rata Rantai.  Barisan terdepan dikosongkan, diisi oleh mikrofon, beberapa sound, serta gitar akustik dan cajon.  Itulah ‘panggung rakyat’ yang disediakan bagi siapapun juga yang hadir.  Trisna, menuturkan bahwa rencana awal aksi ini akan digelar di pelataran gedung DPRD Jember, namun tidak mendapatkan izin.

Foto: Uswatun Khasanah/TB

“Ada ketua anggota dewan, Pak Itqon Syauqi, yang katanya sangat mendukung aksi ini.  Namun, ketika kami koordinasikan ulang dengan sekertaris dewan (sekwan), beliau mengatakan tidak bisa” papar Trisna.  Sesuai fungsinya, sekwan hanya mengizinkan pelataran DPRD Jember digunakan sebagai parkiran.  Trisna mengaku kecewa dengan keputusan tersebut.  Rata Rata Rantai akhirnya terpaksa digelar di samping kompleks DPRD Jember.

Untuk mendapatkan giliran menyampaikan aspirasinya, mereka yang hadir cukup mengantri di samping panggung.  Beberapa puisi, lagu, orasi, serta teater ditampilkan. Ada yang  mengingatkan bahaya dilemahkannya pemberantasan korupsi, pasal karet RKUHP, kriminalisasi aktivis, hingga menyuarakan operasi militer di Papua yang terus mendulang korban.  Beberapa tali dibentangkan di sekitar panggung dan di antara barisan pohon, untuk menggantung kertas tuntutan, kekecewaan, dan kemarahan masyarakat.  DPRD Jember, jika mereka merasa seperti yang kami rasakan saat menghadiri aksi ini, tengah dikepung oleh mosi tidak percaya yang semakin serius.  Buktinya, melalui selembar kain besar yang menempel di pagar gedung DPRD, dibunyikan “Dilarang masuk, Di dalam banyak tikus!!”.

Foto: Mirza

Salah satu yang menarik perhatian, massa aksi juga menampilkan teater untuk menyuarakan aspirasi.  Penampilan tersebut dibawakan oleh ekspedisi gelanggang.  Salah satu perwakilannya, Ahmad Siddiq Putra Yuda, menjelaskan pada kami bahwa mereka berusaha menyampaikan kondisi masyarakat saat ini, di mana keadilan berpusat pada elit penguasa.  “Aku kira negara gagal menyejahterakan masyarakatnya dengan cara-cara yang wajar” papar Yuda menanggapi salah satu pasal dalam RKUHP yang menyasar gelandangan.

Foto: Endah/TB

Aksi Rata Rata Rantai sempat berhenti sejenak ketika adzan maghrib berkumandang.  Beberapa saat setelah itu, hujan turun.  Panggung dengan segala peralatan elektroniknya terpaksa dipinggirkan.  Beruntungnya hujan tidak berlangsung lama, pukul 19.58 aksi kembali dilanjutkan.  Kali ini dua lampu halogen dinyalakan sebagai penerangan.  Beberapa penampilan kembali dilangsungkan hingga pukul 22.00.  Menjaga gaung pergerakan, seperti yang dituturkan Trisna kepada massa aksi, tidak melulu melalui aksi ricuh.  Aksi damai melalui ‘panggung rakyat’ juga bisa menjadi jawaban.

Menanggapi Sentimen Aksi Kekerasan dan Aksi Titipan

Salah satu yang menjadi  perhatian dalam aksi mahasiswa di berbagai kota adalah meletusnya kekerasan melawan aparat kepolisian.  Mahasiswa dan elemen masyarakat dinilai melakukan perusakan fasilitas umum.  Kemudian, sikap polisi yang represif dibenarkan.  Korban akhirnya berjatuhan.  Kabar duka, yang turut disampaikan pada Aksi Rata Rata Rantai, adalah meninggalnya 3 peserta aksi, 1 di Jakarta, dan 2 di Kendari.  Mereka adalah Randi, M. Yusuf Kardawi, dan Bagus Putra Mahendra.  Untuk melawan tindakan represif, melawan sentimen kekerasan, menyuarakan hak korban, kali ini Jember memilih panggung rakyat alih-alih aksi ricuh.

Selain itu, salah satu tudingan yang cukup serius terhadap aksi mahasiswa adalah ditunggangi kepentingan.  Maksudnya kepentingan untuk menggulingkan pemerintah.  Padahal sangat jelas bahwa yang mereka tuntut bukan pelengseran presiden.  Lagi-lagi tudingan tersebut dimaksudkan untuk memecah belah massa aksi.  “Di atas panggung rakyat ini, semua diperbolehkan menyuarakan tuntutan.  Biar kita menunjukkan kalo memahami isi tuntutan.  Bukan hanya aksi yang ditunggangi” papar Trisna.  Meskipun ia mengaku aparat kepolisian bersifat kooperatif, tapi tetap saja masih ada sentimen.  Misalnya, sekwan DPRD Jember yang memberi alasan penolakan karena menganggap aksi massa akan merusak fasilitas gedung DPRD.  Merusak melalui apa? Mungkin kritik yang semakin beragam dan sulit dibendung.[]

 

Reporter: Bagus, Uswatun Khasanah

Editor: Endah Prasetyo

Leave a Reply