Ngaji Film Sexy Killers

Tegalboto – Minggu (14/04) acara ngaji film dokumentasi Sexy Killers produksi Watchdoc yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiwa Pertanian (LPMP) Plantarum berlangsung ramai dan seru. Dengan mengundang Syukron Romadon dari Koordinator Bidang Kebijakan Lingkungan Asosiasi Perubahan Iklim Indonesia Regional Jawa Timur sebagai pemantik. Acara ini diselanggarakan di Gedung GSW Fakultas Pertanian. “Tujuan diadakannya ngaji film ini adalah untuk memberikan wawasan terutama lingkungan akibat dari kegiatan eksploitasi tambang yang semakin marak.” ujar Habibillah, Pemimpin Umum LPMP Plantarum.

Film ini dibuka dengan adegan romantis sepasang kekasih yang melakukan aktivitas menggunakan barang elektronik dengan bersumber pada listrik. Tanpa pernah disadari atau terpikirkan oleh kita, bagaimana serangkaian proses agar listrik tersebut bisa sampai pada kita. Dilanjutkan dengan menampilkan sebuah Desa Mulawarman, Kabupaten Sebrang, Kutai Kartanegara, desa tersebut menjadi korban dampak adanya pertambangan batu bara di sekitar perkampungan mereka. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Peraturan Daerah Kutai Kartanegara menegaskan bahwa jarak pemukiman warga dengan aktivitas pertambangan harus berjarak 500 meter, tapi perusahan pertambangan batubara tersebut tidak mengindahkan peraturan.

Dampak dari ditimbulkannya aktivitas pertambangan tersebut menyebabkan masyarakat susah mendapatkan air. Mereka hanya bisa mengandalkan air hujan atau air bekas tambang yang membawa serta endapan lumpur. Air inilah yang menyebabkan padi menjadi layu dan tidak berisi, sehingga menyebabkan sawah tidak bisa ditanami kembali. Air pun keruh, tidak layak konsumsi , dan tidak layak digunakan untuk aktivitas lainnya seperti mandi. “Dulu sebelum ada bangunan batu bara ndak rusak, ndak amburadul. Sekarang ada bangunan batu bara, rakyat kecil malah sengsara, yang enak rakyat besar ongkang-ongkang kaki terima uang, kita terima lumpur.” ujar salah satu warga dalam film tersebut.

Selain berdampak pada air dan tanaman warga, ternyata dampak lain yang ditimbulkan adalah lubang bekas galian tambang. Menurut peraturan, lubang bekas galian tambang harus diuruk kembali atau direklamasi. Fakta di lapangan banyak perusahaan yang tidak mengindahkan peraturan tersebut, tercatat dari tahun 2011-2018 terdapat 32 jiwa tenggelam hanya di Provinsi Kalimantan Timur. Perusahaan dan pemerintah menanggapi kasus tersebut sebagai kasus kemalangan biasa, padahal bekas galian lubang tepat di belakang sekolah. “Janjinya bapak, pemerintah mau menutup daerah lubangnya, tahunya ditutup dengan seng bekas, ditulis dilarang bermain.” ujar ibu Raihan, siswa SD korban lubang galian tambang. Setelah dikonfirmasi oleh wartawan terkait hal tersebut, Gubernur Provinsi Kalimantan Timur memberikan pernyataan, “Nasibnya kasihan, ikut prihatin. Korban jiwa itu di mana-mana terjadi, nasibnya dia meninggalnya di kolam tambang.” Kemudian ditanya kembali mengenai bagaimana upaya pemerintah menanggapi masalah tersebut, lalu beliau menjawab, “Itu pertanggung jawabannya di akhirat, masyarakat sudah tau ada lubang, kita sudah sampaikan, sebarkan, sudah ditandai.”

Lain halnya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), salah satunya yaitu PLTU Batang yang menjadi salah satu PLTU terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 2000 megawatt atau setara 1-2 juta rumah tangga. Dengan kapasitas sebanyak ini, setidaknya PLTU membutuhkan 600ribu ton batu bara, yang artinya setiap hari akan ada 2 hingga 3 tongkang yang hilir mudik di perairan ini. Tak hanya petani, nelayan pun melayangkan protes atas aktivitas tersebut yang dapat mengganggu tangkapan ikan dan rusaknya ekosistem laut. “Gara-gara wong seng pinter gununge di dol, opo ora mikir la kok ate segoro ditanduri wesi, dienggoni PLTU. Wes wetan PLTU, kulon PLTU maneh dipikir Indonesia iku wes entek tanahe kisek, bakale dienggoni PLTU kabeh.” ujar salah satu nelayan dalam film tersebut.

Mei, 2014 dua warga bernama Carman dan Cahyadi yang menolak tanahnya dijual dikriminalisasi telah melakukan kekerasan. Jika ditelisik lebih jauh, PLTU ini memiliki konsorsium Indonesia dan Jepang, dari Indonesia ada PT ADARO POWER milik Erick Tohir.

Setelah ngaji film, acara dilanjutkan sesi tanya jawab dan diskusi dengan pemantik yang kebetulan Dosen Fakultas Pertanian. Terlihat antusiasme dari pengunjung yang datang untuk ngaji film ini, seperti Hadi, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia. “Kita harus hemat listrik, kita tidak boleh sert merta menyalahkan pemerintah semua atau orang yang di belakangnya, itu semua untuk memenuhi listrik Indonesia namun di samping itu ada orang yang dikorbankan dalam pembangunan PLTU.” papar Hadi. Selain itu pemantik juga menceritakan pengalamannya di PLTU Cilacap, mengenai dampak adanya PLTU tersebut yaitu pendapatan nelayan turun karena sulitnya mencari ikan, munculnya orang kaya baru dadakan, dan belum pernah ada yang menjustifikasi dampak buruk bagi kesehatan dari PLTU.

Banyak permasalahan yang disebabkan dari PLTU dan pertambangan batubara. Mungkin munafik jika kita tidak membutuhkan listrik, tapi minimal kita mengurangi penggunaannya dari hal kecil, misalnya charge handphone yang tidak dipakai dilepas dari stopkontak, kipas angin dan televisi yang tidak digunakan dimatikan. Dari hal-hal kecil tersebut membuktikan bahwa kita sudah mencintai lingkungan dan bijak dalam penggunaan listrik.[]

 

Penulis: Reihan Dwi

Editor: Endah Prasetyo


 

Leave a Reply