“Ketika pacarmu bilang ‘aku sayang kamu’, sebenarnya kamu sedang dijajah atau dihegemoni. Hati-hati, itu jebakan,” ucap salah satu dosen saya di Sastra Indonesia saat mengisi kelas Poskolonial beberapa waktu lalu.
Jika dilihat sepintas, kalimat itu nampak aneh. Selama ini kita dididik untuk mengartikan sayang dan cinta sebagai sesuatu yang indah, tulus, dan sifat-sifat baik yang lainnya. Itu benar, tapi kalimat yang terlontar dari mulut dosen saya juga benar. Kok bisa? Iya, ada satu kata kunci yang mesti dipahami agar kalimat ini terdengar “normal”: hegemoni.
Konsep hegemoni diperkenalkan oleh Antonio Gramsci, seorang teoritikus politik asal Italia. Dia berpendapat bahwa dalam masyarakat, dominasi kelas berkuasa tidak hanya didasarkan pada kekuatan fisik atau ekonomi semata, namun juga pada kepemimpinan moral dan intelektual. Dominasi yang dimaksud juga bukan atas dasar paksaan, melainkan berdasarkan pada konsesus alias kesepakatan. Artinya, Gramsci memperhitungkan pentingnya ideologi dan persetujuan dalam mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Untuk mencapai penguasaan, kelas yang berkuasa harus mampu membuat kelas yang dikuasai tidak hanya menerima nilai-nilai serta norma dengan sukarela, tetapi secara tidak sadar juga memberikan persetujuan atas ketersubordinatannya (Sugiono, 2001: 31).
Ringkasnya, Gramsci ingin bilang bahwa hegemoni adalah penguasaan suatu kelas terhadap kelas lainnya tanpa adanya pemaksaan, tetapi melalui konsesus atau kesepakatan.
Lantas, apa hubungannya dengan sayang dan cinta?
Hegemoni dalam cinta dapat dilihat dari upaya satu pihak dalam hubungan dengan pengaruh lebih besar “menguasai” pihak lainnya. Pengaruh ini dapat bersifat emosional, ekonomi, atau sosial. Ketika pihak dominan menciptakan atau memperkuat norma-norma tertentu, maka akan dianggap wajar dan seolah-olah harus diterima oleh pasangannya. Misalnya, ketika salah satu pasangan menetapkan standar perilaku atau mengontrol keputusan-keputusan penting, hal ini bisa jadi bentuk hegemoni dalam hubungan. Ketidakseimbangan ini seringkali tidak dipertanyakan karena dianggap sebagai bagian dari “tugas” atau “peran” dalam hubungan. Contohnya, norma tradisional yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga atau pengambil keputusan utama dapat diterima sebagai sesuatu yang alamiah. Padahal sesungguhnya itu adalah hasil konstruksi sosial yang hegemonik.
Selain itu, hegemoni dalam cinta juga terlihat dalam cara dua sejoli saling memengaruhi pandangan tentang cinta itu sendiri. Budaya populer juga sering kali mengidealkan cinta dengan gagasan bahwa “cinta sejati harus penuh pengorbanan”. Tidak peduli jika itu merugikan salah satu pihak. Kasus yang sering terjadi adalah pihak dominan dapat memanfaatkan hal tersebut untuk mempertahankan kekuasaan emosional atas pasangannya. Caranya adalah dengan membuat pasangan merasa bersalah jika tidak memenuhi ekspektasi tertentu dalam hubungan.
Sekarang, kita dapat memahami pernyataan dosen saya dalam konteks kekuasaan dan pengaruhnya pada relasi interpersonal dan emosional. Artinya, sebenarnya dosen saya ingin bilang bahwa dalam hubungan, tidak semua tindakan atau ungkapan yang tampak sederhana tidak memiliki maksud tertentu. Selalu ada maksud di baliknya.
Kembali lagi ke Gramsci, dia berpendapat bahwa hegemoni bekerja dengan cara membangun konsensus, yaitu pihak yang dikuasai secara sukarela menerima dan menginternalisasi norma-norma yang ditetapkan oleh pihak berkuasa. Ungkapan “aku sayang kamu” pada dasarnya adalah ekspresi kasih sayang. Namun jika kita telisik lebih jauh, pernyataan ini juga dapat menjadi sarana untuk membangun konsensus emosional atau persetujuan, yaitu ketika satu pihak (biasanya laki-laki) mencoba memperkuat kedudukan atau kontrolnya dalam hubungan.
Hegemoni bekerja ketika pihak yang dikuasai tidak merasa dipaksa, tetapi secara sukarela mengikuti norma atau ekspektasi yang dibangun oleh pihak berkuasa. Pernyataan cinta seringkali dapat menciptakan ekspektasi emosional untuk membebani pihak yang dikuasai. Misalnya, setelah mendengar pernyataan tersebut seorang perempuan merasa berkewajiban untuk membalas perasaan tersebut dengan memberikan perhatian lebih, memenuhi harapan pasangan, atau menyesuaikan perilakunya agar hubungan tetap berjalan lancar. Hal ini merupakan bentuk hegemoni karena perempuan tersebut tanpa disadari menerima norma dan aturan yang tidak secara eksplisit dinyatakan, tetapi terimplikasi dari hubungan tersebut.
Ungkapan cinta juga dapat menjadi jebakan karena perasaan cinta sering kali membawa tuntutan atau ekspektasi tersirat. Perempuan mungkin akan merasa terikat oleh perasaan ini, akibatnya perempuan harus berkorban atau menyesuaikan diri demi menjaga hubungan. Jika hubungan tersebut tidak seimbang, ketika satu pihak memiliki kontrol lebih besar (baik secara emosional, sosial, atau finansial), cinta dapat menjadi instrumen untuk memperkuat dominasi satu pihak atas yang lain. Ini adalah jebakan karena cinta dianggap sebagai sesuatu yang murni dan positif, tetapi di balik itu terdapat mekanisme kontrol yang halus. Cinta dapat menjadi alat untuk membenarkan perilaku yang tidak adil dalam hubungan yang tidak sehat, yaitu ketika pihak dominan (misalnya laki-laki) dapat menggunakan pernyataan cinta untuk menjaga agar pasangannya tetap dalam posisi yang lebih rendah, merasa berhutang budi, atau bahkan merasa tidak bisa meninggalkan hubungan tersebut karena takut kehilangan.
Salah satu poin utama dalam teori hegemoni Gramsci adalah bahwa pihak yang dikuasai secara tidak sadar menerima kesubordinatannya. Ini berarti bahwa dalam hubungan, perempuan yang mendengar “aku sayang kamu” mungkin tidak menyadari bahwa mereka secara tidak langsung sedang diatur oleh norma dan harapan yang ditetapkan oleh pasangannya. Perempuan mungkin menganggap bahwa memenuhi keinginan pasangan adalah bagian dari menjaga hubungan, tanpa menyadari bahwa hal tersebut menempatkannya dalam posisi subordinat. Internalisasi ini dapat membuat perempuan merasa bahwa mereka harus menyesuaikan diri dengan keinginan pasangannya karena “cinta”. Ini adalah jebakan. Cinta adalah jebakan. Hegemoni dalam cinta bekerja membuat perempuan menjadi subordinat, tanpa menyadari bahwa mereka sedang berada dalam dinamika kekuasaan yang tidak seimbang.
Dalam budaya patriarki, hegemoni atas cinta ini semakin memperkuat subordinasi perempuan dalam hubungan. Patriarki telah lama menanamkan norma-norma sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam relasi cinta. Cinta dianggap sebagai sesuatu yang murni sering kali digunakan sebagai alat kontrol untuk menjaga dominasi laki-laki. Perempuan juga dengan tanpa sadar menerima peran sebagai pihak yang harus mendahulukan kebahagiaan dan keinginan laki-laki. Ini terjadi karena budaya patriarki menekankan bahwa hal tersebut adalah bagian dari kewajiban perempuan untuk menjaga keharmonisan hubungan.
Narasi “pengorbanan demi cinta” ini mengakar dalam budaya dan membuat perempuan merasa bahwa penyesuaian dan pengorbanan adalah hal yang wajar. Akibatnya, perempuan menjadi terjebak dalam dinamika kekuasaan yang tidak seimbang, yaitu ketika perempuan tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kebutuhan dan keinginannya sendiri. Budaya patriarki menciptakan iluasi bahwa cinta hanya bisa bertahan jika perempuan tetap dalam posisi subordinat, sehingga perempuan secara tidak sadar menginternalisasi norma-norma ini sebagai bagian dari identitas dan perannya dalam hubungan. Perempuan perlu menyadari bahwa cinta yang sejati tidak harus melibatkan subordinasi atau penyesuaian sepihak, melainkan harus didasarkan pada kesetaraan, kebebasan, dan saling menghormati.
Penulis: Erninda Puji Agustin
Editor: Haikal Faqih
Pers Tegalboto
Menuju Pencerahan Masyarakat