Autobiography: Membaca Orba Lewat Gramsci

Dunia perfilman Indonesia berhasil menyabet gelar Fipresci Prize di program Orizzonti and Parallel Sections di Venice International Film Festival melalui film bertajuk Autobiography. Selain itu, beberapa penghargaan lain juga didapatkan, diantaranya Adelaide Film Festival, Tokyo Filmex, Asia Pacific Screen Awards, Golden Horse Film Festival, dan masih banyak lagi.

Antonio Gramsci membagi kekuatan politik atas dua hal, yaitu dominasi dan hegemoni. Film perdana besutan Makbul Mubarak ini menampilkan potret yang hampir sempurna mengenai cara kerja dominasi politik di negeri ini. Film ini bercerita tentang seorang pemuda bernama Rakib (Kevin Ardilova) yang bertugas menjaga rumah milik pensiunan jenderal bernama Purna (Arswendi Nasution). Rakib bekerja sebagai penjaga rumah tersebut karena melanjutkan tanggung jawab yang sebelumnya diemban oleh ayahnya, Amir (Rukman Rosadi) yang sekarang mendekam di penjara. Purna digambarkan sebagai sosok pensiunan jenderal di era Orde Baru yang memiliki sifat otoritarian dan manipulatif. Konflik terbentuk pasca Purna kembali ke rumah yang didiami oleh Rakib dan ingin mencalonkan diri menjadi bupati di daerah tersebut. Kedatangan Purna membuat Rakib mendapatkan tugas lain yang tidak hanya terkonsentrasi di rumah. Tugas tersebut adalah membantu Purna berkampanye di hadapan warga sekitar. Selain itu, Rakib juga mendapat privilese yang menjadikan ia merasa lebih unggul dibandingkan warga sekitar.

Suasana yang dibangun dalam film ini terkesan sangat suram dan depresif. Ketegangan diramu dengan baik, apalagi ditambah dengan sinematografi garapan Wojciech Staron, yaitu seorang sinematografer asal Polandia. Tendensi thriller hadir dengan minimnya ambiens cahaya dengan ditambah banyaknya adegan artistik. Scoring musik masuk sebagai elemen tambahan dalam pengembangan cerita dan membantu adegan-adegan simbolis terutama saat lagu “Kaulah Segalanya”. Kerapian dalam penulisan film ini dapat dilihat dari suasana dialog antara Rakib dan Purna yang intens. Transisi warna hijau pada awal cerita hingga menuju warna merah adalah penggambaran dari proses Rakib memahami Purna. Warna hijau diartikan sebagai sosok Rakib yang masih polos dan tunduk kepada Purna, sedangkan warna merah diartikan sebagai sosok Rakib yang mulai membangkang dan mulai mengalami pergolakan batin dengan dirinya sendiri. Kengerian pada film ini hampir secara keseluruhan hanya bermodal pada verbal dan penggunaan frame-frame yang memfokuskan pada emosi sang karakter.

Pendalaman cerita dimulai dengan adegan bermain catur yang dalam hal ini Purna selalu menang. Hubungan Rakib dengan Purna digambarkan dengan term bapakisme. Yang pada praktiknya, hubungan keduanya terkesan hierarkis sebagaimana hubungan antara bapak dan anak. Praktik tersebut juga tergambar dengan beberapa kesan intim dan simbolik, seperti dipakaikan baju milik Purna ketika masa muda, ia yang diajari menembak, dan lain sebagainya.

Dalam permainan catur, Purna selalu punya cara dalam mengantisipasi lawan caturnya karena ia merasa bahwa ketenangan adalah kunci kemenangan. Analogi tersebut sesuai dengan bagaimana cara ia mengantisipasi masalah-masalah yang ada di sekitarnya. Selain itu, penggambaran atas dominasi politik terpapar jelas pada rentetan agenda dan relasi yang dimilikinya. Adegan penjemputan dan penculikan paksa atas Agus (Yusuf Mahardika), seorang anak yang menolak akan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) karena pembangunan tersebut berada di lahan kopi keluarga yang menandakan bahwa cara kerja era Orde Baru masih mengalir pada dirinya.

Penggunaan stereotip dalam film ini juga tajam dan sesuai dengan realita yang ada. Sebagaimana pengguna mobil SUV seringkali mendapat konotasi yang buruk ketika berkendara di jalan. Banyak orang yang mengamini bahwa pengguna mobil tersebut arogan ketika berada di jalanan. Minimnya karakter perempuan dalam hampir keseluruhan film menjadikan film terkesan maskulin. Akhir kata, Autobiography adalah sebuah wajah baru perfilman Indonesia yang membantu kita dalam merawat ingatan atas kekelaman bangsa kita semasa pemerintahan era Orde Baru dan bagaimana dominasi tersebut membaur bersama hegemoni. Tanpa disadari bahwa politik adalah perihal yang selalu dibicarakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

 

Penulis: Ridho Ismail

Editor: Alya Aurellia Ananta

 

Pers Tegalboto

Menuju Pencerahan Masyarakat

 

 

 

Leave a Reply