Bagaimana Perubahan Iklim Berdampak pada Perempuan dan Perempuan Disabilitas?

Budaya patriarki bukan hanya hidup dan berkembang pada satu aspek kehidupan masyarakat saja. Tapi Ia mencoba masuk dan merongrong pada hampir seluruh aspek yang ada. Mulai dari aspek ekonomi, budaya, politik, termasuk lingkungan dan alam. Patriarki kian menyala dalam aspek tersebut dengan membuat relasi yang bias gender antara laki-laki dan perempuan.

Misalnya ketimpangan gender yang terjadi akibat adanya perubahan iklim. Dampak yang diterima antara laki-laki dan perempuan tentunya memiliki perbedaan. Ketimpangan tersebut terjadi akibat adanya patriarki dan perbedaan pengalaman kedua gender tersebut (Situmeang dan Aflaha, 2022: 242). Anggapan seolah-olah perempuan tidak berhak untuk tampil dan memberikan pengalamannya dalam menyoal urusan lingkungan hidup sebagaimana laki-laki masih santer. Ia hanya dianggap terampil dalam urusan domestik saja. Begitu pula terjadi pada pengelolaan dan kepemilikan sumber daya alam serta pengetahuan lingkungan hidup berdasarkan lokalitas, perempuan kian dimarginalisasi.

Padahal, pada dasarnya krisis iklim atau perubahan iklim merupakan implikasi nyata dari adanya relasi yang timpang di masyarakat. Maka dari itu sejumlah feminis percaya bahwa penindasan terhadap alam juga sejalan dengan adanya penindasan terhadap perempuan. (Boang, 2022: v)

Konkretnya, perempuan adalah pihak yang paling terdampak karena merupakan bagian dari kelompok rentan yang tersebar di seluruh dunia. Terutama karena adanya perubahan iklim yang kemudian berdampak terhadap krisis air bersih, krisis pangan, dan kebencanaan. Hal tersebut menjadi ancaman besar bagi perempuan (Situmeang dan Aflaha, 2022: 242-243). Ketika krisis air bersih, perempuan yang dilekatkan dengan urusan domestik harus menanggung beban yang berat. Ia harus rela berjalan jauh untuk mendapatkan dan memenuhi kebutuhan air bersih untuk keluarganya. Atau apabila terjadi krisis pangan, perempuan adalah kelompok yang pertama kali kebingungan dan mencari jalan keluar agar kebutuhan tersebut dapat dipenuhi.

Soal aspek kebencanaan juga demikian, saat terjadi bencana, perempuan juga mendapatkan beban yang berlapis. Ia akan kebingungan terkait dengan kebersihan diri dan berdasarkan sisi biologisnya sebagai perempuan. Kasarannya, laki-laki bisa saja bertahan berhari-hari tanpa mandi saat terjadi bencana, akan tetapi bagaimana dengan perempuan yang terdampak bencana dan dalam waktu yang bersamaan sedang mengalami menstruasi, misal? Perempuan yang sedang menstruasi akan merasakan kesulitan tiada tara saat terjadi bencana. Sebagaimana kita tahu, saat terjadi bencana kesulitan akses air bersih dan lingkungan privat yang dibutuhkan untuk keamanan serta kenyamanan perempuan memang tidak bisa terjamin.

Kelompok yang lebih rentan lainnya misal pada perempuan dengan disabilitas yang terdampak perubahan iklim. Kondisi tersebut akan kian memperparah ketimpangan dan mendapatkan dampak yang berat. Perempuan dengan disabilitas akan mendapatkan beban berlapis 2 sampai 3 kali dibanding dengan perempuan non-disabilitas. Katakanlah, perempuan non-disabilitas saja sudah mendapatkan ketimpangan yang besar, apalagi perempuan dengan disabilitas.

Untuk memahami disabilitas itu sendiri kita dapat memandangnya berdasarkan dua cara dominan sebagaimana yang dikemukakan oleh Dewi dan Wongkar (2022: 193-194), pertama cara pandang menurut medis bahwa disabilitas merupakan suatu keadaan tidak normal secara fisik, fungsi sensoris, maupun mental. Sedangkan berdasarkan cara pandang sosial disabilitas adalah suatu kondisi di mana seseorang mengalami ‘ketidakmampuan’ dan ‘keterbatasan’. Secara sosial seseorang dengan disabilitas bukan hanya karena fisik, fungsi sensoris, ataupun mental. Akan tetapi karena bangunan dan tata kota yang tidak ramah terhadap kursi roda. Menurutnya, disabilitas juga mempunyai dimensi gender meskipun pada dasarnya sama-sama dipinggirkan oleh masyarakat. Sebenarnya, perempuan dengan disabilitas tentu memiliki dampak dan proses yang berbeda dengan laki-laki disabilitas.

Harris dan Wideman (dalam Dewi dan Wongkar, 2022: 194) mendeskripsikan disabilitas sebagai konstruksi sosial, artinya bahwa hal tersebut dibentuk oleh masyarakat. Bahkan kelompok ini sering dikategorikan sebagai kelompok yang tidak memiliki gender. Lebih jauh, perempuan dengan disabilitas yang berada pada level sosial ekonomi lemah cenderung menjadi kelompok yang lebih rentan dibandingkan dengan perempuan non-disabilitas dengan level sama. Dapat dibayangkan betapa sukarnya menjadi perempuan atau secara spesifik perempuan dengan disabilitas yang terdampak perubahan iklim?

Dalam rangka merespons kondisi yang telah diuraikan tersebut, setidaknya terdapat dua cara ideal yang bisa dilakukan. Tidak hanya oleh pemerintah akan tetapi bisa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Meskipun tetap saja hal ini memang harus meletakkan titik tekan kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan yang strategis.

Pertama, memasifkan komunitas dan gerakan akar rumput yang merespons perubahan iklim, utamanya masyarakat yang ada di pedesaan. Hingga saat ini mulai bermunculan komunitas-komunitas yang terorganisasi dan memberikan bukti konkret dalam menghadapi perubahan iklim dan kondisi-kondisi rentan seperti perempuan dengan disabilitas. Contoh Komunitas Perempuan Bumi dengan gerakan pembalut kainnya. Hal ini menjadi bukti nyata yang memang harus juga dilakukan di seluruh Indonesia. Komunitas ini bahkan melibatkan ratusan perempuan dengan disabilitas di beberapa daerah Indonesia.

Kedua, kebijakan responsif gender oleh pemerintah. Atau barangkali jika boleh dibuat istilah baru, jika pembahasannya tidak hanya seputar gender, maka kebijakan pemerintah harus sudah diarahkan kepada kebijakan yang responsif terhadap kelompok rentan. Jadi, perempuan dengan disabilitas juga bisa dijangkau pada pembahasannya. Meskipun pada dasarnya kebijakan pemerintah telah merumuskan hal tersebut. Namun, kebijakan dengan mempertimbangkan kelompok rentan ini masih menjadi hal yang tabu dan muluk-muluk. Jika kita lihat saja sekarang, untuk menuju arah kebijakan yang responsif gender saja masih megap-megap apalagi responsif terhadap kelompok rentan lainnya. Contohnya pada pemilahan data terpilah gender. Di Indonesia masih belum kunjung mempunyai hal tersebut.

Meski demikian saya berharap melalui dua solusi tersebut masih bisa dan terus diperjuangkan. Dan saya juga berusaha untuk membuang jauh-jauh pikiran pesimis. Semoga kita semua bisa optimis. Salam hangat.

Ilustrasi: pexels.com

Editor: Haikal Faqih

Leave a Reply