Kasus kekerasan seksual menjadi topik yang sering muncul di beranda kita akhir-akhir ini. Tahun lalu saja, mengutip Harian Kompas berdasar Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHP), sekitar 1 dari 11 perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual dan fisik, yang dilakukan oleh pasangan maupun bukan pasangan. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini kita memang sedang mengalami darurat kekerasan seksual. Bahkan, mungkin, sebenarnya angka 1 dari 11 itu hanyalah angka yang terungkap. Jadi, sebenarnya lebih banyak kasus yang terjadi namun tidak terendus. Seperti gunung es. Yang muncul di permukaan saja yang dapat dilihat, padahal di bawah permukaan sebenarnya masih banyak.
Kasus kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja: jalan, rumah, bahkan di ranah instansi pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi). Pelakunya juga bisa siapa saja: teman, pasangan, bahkan pengajar (dosen dan guru). Begitupun korbannya: teman, keponakan, anak didik, siapa saja. Ya, instansi pendidikan. Menurut data Kanal Lembaga Negara (2015-2020), dari semua aduan kekerasan seksual yang terjadi di instansi pendidikan yang diterima oleh Komnas Perempuan, sebanyak 27 persennya terjadi di jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi, sungguh miris. Sungguh fenomena yang paradoks karena di sisi lain, kampus adalah hub program Tujuan Berkelanjutan (SDGs), yang salah satunya adalah penghapusan kekerasan seksual.
Sebut saja beberapa kasus yang terjadi di Jember belakangan—atau muncul belakangan. RH dengan korban keponakannya sendiri, ARR dengan korban temannya, dan kasus lainnya. Di Jember, mengutip FaktualNews.co berdasar pernyataan Ketua Pusat Studi Gender Universitas Jember Linda Dwi Eriyanti, 97 persen pelaku kekerasan seksual di ranah Perguruan Tinggi adalah orang yang dekat dengan korban. Mulai dari pacar, teman organisasi, hingga oknum dosen. Bahkan, terakhir juga terjadi pelecehan oleh pemilik indekos kepada seorang mahasiswi, dan begal bokong dan payudara oleh orang tak dikenal.
Fenomena kekerasan seksual di ranah kampus ini sebelumnya tak banyak terekspos apalagi ditangani. Alasannya? Tentu sangat klise: reputasi kampus. Kasus-kasus yang menyangkut instansi pastinya akan dianggap sebagai peruntuhan reputasi yang dibangun dengan susah payah. Atau, relasi kuasa yang melilit korban hingga tak berani speak up, apalagi melawan. Juga, kampus tak memiliki regulasi khusus untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual.
Permendikbud nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang diundangkan 3 September lalu seperti memberi angin segar. Problem kampus tak memiliki regulasi khusus kini tak boleh lagi dijadikan alasan. Dalam Bab IV, dikatakan Dalam pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Pemimpin Perguruan Tinggi membentuk Satuan Tugas di tingkat Perguruan Tinggi (Ayat 1). Dan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pertama kali melalui panitia seleksi (Ayat 2). Satuan Tugas ini yang diharapkan dapat menangani dan mencegah kekerasan seksual terjadi di di lingkup kampus. Satuan Tugas harus terbentuk maksimal satu tahun setelah Permendikbud nomor 30 tahun 2021 ini diundangkan (Pasal 57). Itu berarti, 3 September 2022, seluruh perguruan tinggi sudah harus memiliki Satuan Tugas ini.
Soal pembentukan Satuan Tugas, Rektor Universitas Jember berjanji bahwa awal tahun 2022, Satuan Tugas sudah terbentuk bersama dengan peraturan rektor. Namun, satu bulan sudah terlewati di tahun 2022 ini, dan Satuan Tugas itu belum terbentuk juga. Melihat bahwa hal ini begitu urgent, sudah seharusnya memang dijadikan prioritas. Melihat kasus kekerasan seksual yang semakin hari seperti semakin jadi. Kementerian sudah memberikan jalan. Tinggal masing-masing universitas. Kalau bisa, dilakukan secepatnya. Tak usah menunggu mepet deadline. Sebab, sudah darurat. Bukan hanya Universitas Jember, tetapi juga seluruh universitas. Bukan hanya cepat, tetapi harus berkualitas.
Editor: Rodiyatul Munawaroh