Siapa sih yang tak akrab dengan Sistem Kebut Semalam (SKS)? Bagi sebagian mahasiswa, SKS umumnya menjadi solusi instan saat dikejar-kejar deadline. Biasanya mahasiswa yang demikian, memiliki dua kemungkinan antara benar-benar sibuk dengan segala rutinas dan kegiatan yang diikuti atau memang suka menunda-nunda perkerjaan. Namun, apa pun alasannya, SKS seakan telah menjadi budaya di kehidupan mahasiswa, terutama karena pola perkuliahan yang sering kali bergantung pada deadline.
Secara tak langsung, deadline memang memaksa mahasiswa untuk terus bergerak, karena tanpa adanya batas waktu yang jelas, tugas-tugas pasti akan dibiarkan menumpuk tanpa kepastian. Menariknya, pola ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, tetapi berulang kali secara terjadwal. Misal, saat mendapatkan tugas yang dianggap enteng karena tenggat yang masih jauh, kemudian ditunda, sampai akhirnya tak sadar kalau sudah menunjukkan tenggat waktu pengumpulan. Akhirnya, mau tak mau SKS jadi solusi instan, tak peduli hasilnya sesuai atau tidak, yang penting tugas kelar.
Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi mahasiswa demikian. Beberapa karena memang kesibukan di luar akademik. Organisasi, magang, dan pekerjaan sampingan sering kali menyita waktu sehingga membuat tugas-tugas kuliah tergolong ke daftar prioritas terakhir. Ada juga yang menunda karena tugasnya terasa terlalu berat atau bingung mau mulai dari mana, hingga akhirnya ditinggal sejenak dengan harapan, besok pasti kepikiran.
Selain itu, kepenatan dari jadwal perkuliahan yang cukup padat juga bisa membuat mahasiswa kewalahan. Alih-alih menyicil tugas, mahasiswa justru memilih istirahat sebentar dan sering kali berakhir scroll media sosial berjam-jam, merasa santai tanpa tekanan.
Fakta memang, tugas kerap datang bertubi-tubi dari berbagai macam mata kuliah, dengan tenggat waktu yang berkejaran. Beberapa dosen mungkin tanpa sadar mendorong pola ini—memberi tugas besar tanpa mempertimbangkan beban mahasiswa secara keseluruhan. Alhasil, mahasiswa terjebak dalam siklus menunda, panik, kebut semalam, dan berakhir kelelahan hanya untuk pengulangan siklus yang sama minggu depan.
Masalahnya, budaya SKS ini pelan-pelan dinormalisasi. Padahal, pola ini bukan cuma soal ketertarikan pada adrenalin last minute, tetapi soal bagaimana kita tanpa sadar memelihara kebiasaan yang tidak sehat. Tugas yang dikerjakan di bawah tekanan atau dalam sistem kebut semalam, pasti tidak akan maksimal, bukan karena tidak mampu mengerjakan, tetapi disebabkan tidak adanya cukup ruang untuk bisa berpikir kritis dan kreatif. Alih-alih memahami materi, mahasiswa justru fokus pada satu hal, yaitu selesai.
Lebih jauh, kebiasaan ini juga bisa berdampak pada kesehatan mental dan fisik. Tidur yang berantakan, rasa cemas karena berpacu dengan waktu, dan kelelahan fisik setelah begadang menjadi “harga” yang harus dibayar. Jika dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin mahasiswa akan merasa burnout—kelelahan mental dan emosional akibat tekanan akademis yang bertumpuk.
Melepaskan diri untuk tidak menormalisasi sistem kebut semalam ini memang tidak mudah. Oleh karena itu, mahasiswa perlu membangun pola kerja yang lebih teratur sejak awal. Sebab, sistem kebut semalam bukanlah solusi Jangka panjang dari masalah deadline yang berdatangan.
Sampai sekarang, penulispun masih sering terjebak dalam kebiasaan menunda. Namun, setidaknya penulis sedang berusaha keluar dan mengambil langkah awal yang bisa penulis lakukan dengan membagi tugas besar menjadi potongan-potongan kecil (mencicil) dan membuat deadline pribadi sebelum deadline pengumpulan.
Sulit memang dan tidak selalu berhasil, tapi setidaknya ada upaya untuk lepas dari siklus ini. Sebab, pada akhirnya produktif itu bukan soal siapa yang bisa menyelesaikan tugas di menit-menit terakhir. Namun, produktif adalah tentang bagaimana kita bisa mengatur waktu, berpikir jernih, dan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa harus bergantung pada kepanikan sebagai bahan bakarnya.
Penulis : Muh Slamet Hariyadi
Editor: Anabela Septyana
Ilustrasi: Ardhan Firdaus
Pers Tegalboto
Menuju Pencerahan Masyarakat