Catcalling merupakan bentuk pelecehan verbal yang dapat mengakibatkan perempuan merasa tidak aman dan tidak nyaman. Selain itu, catcalling juga merugikan hak perempuan untuk mengakses ruang publik tanpa merasa takut dan tidak nyaman. Catcalling paling sering terjadi berbentuk verbal berupa ucapan atau kalimat-kalimat yang mengganggu dan tidak senonoh. Namun, tidak menutup kemungkinan juga bahwa catcalling terjadi dalam bentuk fisik dalam artian menyentuh anggota tubuh korban. Bentuk-bentuk catcalling dapat berupa siulan, tindakan vulgar, komentar seksis, komentar seksual, komentar atas tubuh, komentar atas abilitas, gestur main mata dan masih banyak lagi. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), catcalling dikaitkan dengan perbuatan asusila dan pencabulan. Hal tersebut jelas melanggar peraturan perundang-undangan Pasal 8 Jo Pasal 34 dan Pasal 9 Jo Pasal 35 UU No.44/2008 tentang Pornografi, dan Pasal 5 UU No.12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kesimpulannya, perilaku ini berpotensi menjadi tindak pidana yang telah memenuhi unsur-unsur suatu tindak pidana[1].
Tindakan catcalling merujuk pada pelecehan verbal atau tindakan seksual yang terjadi di ruang publik masih menjadi isu perdebatan mengenai kesetaraan gender dan keamanan perempuan. Meskipun telah banyak upaya untuk menyuarakan catcalling, nyatanya masih banyak individu yang menyepelekan, menormalisasi atau bahkan mencoba menyalahkan perempuan atas pengalamannya terhadap tindakan tersebut. Maraknya catcalling yang dilakukan oleh sebagian besar individu membuktikan bahwa ketidaksetaraan gender masih melekat erat dalam masyarakat. Perempuan sering kali dianggap sebagai objek, bukan sebagai individu yang memiliki hak dan martabat yang sama. Catcalling juga mencerminkan ketidakpahaman atau bahkan ketidakpedulian terhadap pengaruh negatif dari tindakan semacam itu terhadap kesehatan mental dan emosional perempuan.
Pada tanggal 28 Agustus 2023, akun instagram unejtoday mengunggah bukti chat aduan atas adanya kasus catcalling yang dialami oleh seorang mahasiswa. Salah satu komentar oleh pengguna instagram lain di unggahan tersebut menarik perhatian penulis untuk menjadikan tulisan ini sebagai konsumsi publik. “Yang dijaili juga jangan lupa introspeksi, ya, kak. Kalau satu orang yang catcall mah emang gila orangnya. Tapi kalau sampai banyak, ya menjadi pertanyaan juga hehe. Bukan membenarkan catcalling tapi mari saling introspeksi, ya. Peace – ditutup emoji tangan diangkat.” Begitu isi lengkap komentar tersebut. Sayangnya, komentar itu telah dihapus setelah penulis turut serta memberikan tanggapan atas komentarnya yang kemudian memicu banyaknya pengguna instagram lain untuk turut menanggapi.
Mari kita telisik secara pragmatik dengan tujuan untuk membongkar maksud di balik penggunaan bahasa. Komentator menyebutkan bahwa dirinya tidak membenarkan catcalling. Namun berkebalikan dengan kalimat terakhir yang ditulis, di kalimat kedua komentator menyebutkan, “Kalau satu orang yang catcall mah emang gila orangnya. Tapi kalau sampai banyak, ya menjadi pertanyaan juga hehe.” Kalimat tersebut seakan-akan komentator menyalahkan korban atau perempuan yang mengalami catcalling. Kalimat tersebut juga mengandung makna toleransi yang artinya masih terdapat normalisasi atas terjadinya hal tersebut.
Penting memahami dan menyadari bahwa catcalling bukanlah sekedar “pujian” seperti yang mungkin dianggap oleh beberapa individu. Catcalling merupakan manifestasi dari budaya seksisme yang masih ada. Menormalisasi catcalling sama artinya dengan mempertahankan budaya seksisme yang merugikan. Hal ini dapat menciptakan lingkungan yang tidak ramah perempuan. Menyalahkan korban catcalling juga merupakan contoh nyata dari victim blaming, artinya perempuan diberi tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini tidak adil. Mengarahkan kritik pada korban hanya akan memperburuk situasi korban dan semakin mendorong budaya yang merugikan perempuan juga membuat perempuan terpinggirkan.
Tidak hanya itu, beberapa minggu terakhir ini ketika penulis ditugaskan untuk melakukan liputan di beberapa sekolah jenjang SMP, penulis juga mendapatkan perilaku yang sama dari siswa sekolah-sekolah tersebut. Sangat disayangkan perilaku tidak pantas ini menjadi hal biasa dan dianggap sebagai guyonan. Pendidikan mengenai persamaan gender, hak-hak individu dan perilaku yang pantas dalam interaksi sosial sangat diperlukan sebagai edukasi dan “bekal”. Selain itu, anak-anak juga harus diberitahu mengenai konsekuensi dari perilaku catcalling, baik dari segi moral dan hukum. Orang tua dan guru juga memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pemahaman mengenai perilaku hormat dan santun dalam berinteraksi. Selain itu, siswi perempuan juga perlu diajarkan tentang pentingnya pemberdayaan dan cara menghadapi catcalling atau pelecehan verbal lainnya serta hak untuk merasa aman dan dihormati dalam lingkungan. Tindakan catcalling oleh anak-anak merupakan hal serius yang perlu ditangani dengan serius oleh masyarakat, sekolah dan keluarga.
Jika catcalling terus-menerus dinormalisasi, maka akan memperburuk ketidaksetaraan gender dan membuat sulit bagi perempuan untuk bergerak dengan aman, nyaman, dan tanpa rasa takut ketika berada di ruang publik. Hal tersebut sama saja telah mengganggu Hak Asasi Manusia (HAM) dasar untuk merasa aman dan dihormati di ruang publik. Semua individu berhak untuk diperlakukan dengan hormat tanpa takut menjadi sasaran komentar yang merendahkan atau seksual yang tidak diinginkan.
Perempuan sering dihakimi berdasarkan penampilan fisiknya dan diobjektifikasi. Bagi individu yang menyepelekan, mungkin mereka masih belum memahami bahwa tindakan tersebut dapat membuat peremuan merasa tidak nyaman, terintimidasi dan terancam. Menormaliasasi catcalling sebagai guyonan merupakan tindakan yang tidak sensitif terhadap pengalaman nyata perempuan. Bagi perempuan yang mengalami, hal tersebut dapat menimbulkan perasaan takut, malu, tidak dihargai, diobjektifikasi bahkan marah dan trauma. Mari berhenti menormalisasi catcalling dan mewujudkan lingkungan yang aman, nyaman dan ramah perempuan. []
[1] Afrian, F., dan Susanti H. 2022. Pelecehan Verbal (Catcalling) Ditinjau dari Hukum Pidana. Jurnal Ilmu Humaniora 6(2). diakses pada 11 September 2023 melalui https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian.
Penulis: Erninda Puji
Editor: Fatmawati
Ilustrasi: Adi Faiq