Tegalboto – Sesuai dengan Kartu Rencana Studi (KRS) yang terprogram awal semester, pagi itu (7/11/2018) saya memiliki jadwal Mata Kuliah Umum (MKU) Kewarganegaraan di gedung Fakultas Ilmu komputer. Kuliah itu dijadwalkan berlangsung pukul 10.40 WIB, bertempat di ruang kelas 34. Tidak ada yang spesial dari ruangan bercat putih itu, hanya saja terasa cukup dingin dengan dua air conditionernya.
Saya datang beberapa menit sebelum jadwal yang ditentukan. Memilih kursi di barisan paling belakang, saya dan teman satu jurusan terlarut dalam perbincangan santai sembari menunggu kelas dimulai. Begitupun teman-teman yang lain. Suasana kelas menjadi cukup ramai saat itu.
Sekitar sepuluh menit berselang, laki-laki berperawakan gempal dengan tinggi kurang lebih 160 centimeter, memasuki ruangan. Bersetelan kemeja lengan pendek yang dipadu dengan celana panjang dari kain, membuatnya terlihat cukup rapi. Ia bernama Ganefo, dosen pengampu mata kuliah ini.
“Hari ini kita diskusi ya, kemarin sudah membuat kelompok kan?!” tuturnya yang kemudian segera membuat kami bergerak duduk berkelompok.
“Temanya hari ini demokrasi pancasila.” lanjutnya.
Saya dan teman-teman saat itu masih awam dengan istilah demokrasi pancasila. Memang ketika pertemuan sebelumnya hal tersebut tidak disinggung di dalam kelas, sehingga kami merasa perlu untuk sedikit mencari informasi di internet. Alat terdekat yang dapat kami manfaatkan saat itu adalah handphone.
Benar saja, hanya dalam beberapa menit, semua mata sudah tertuju ke layar handphone masing-masing. Menelisik, membaca, kemudian sesekali berpikir, apakah artikel yang didapatkan bisa menjadi bahan diskusi atau tidak. Sedikit menulis poin-poin penting menjadi pilihan yang cukup masuk akal, mengingat tidak semua artikel dapat kami cerna mentah-mentah.
Selang beberapa saat, peristiwa itu pun terjadi.
“Sudah, sudah diskusinya.” ucap Ganefo.
“Kalian saya beri waktu diskusi, kok malah menyalin materi dari HP.” lanjutnya dengan suara tenang. Ia duduk di balik meja kayu yang menutup separuh badannya. Sorot matanya mengancam melewati kaca mata berlensa kotak yang menggantung di hidung. Seketika kelas menjadi hening.
“Kalian ini sulit sekali diatur!” sambung Ganefo di tengah keheningan kelas. “Sekarang kalian saya hukum mengelilingi lapangan!” tangannya diacungkan dengan jari yang menunjuk ke arah belakang. Kami sangat mengerti bahwa yang dimaksud adalah lapangan depan gedung ini.
Berbondong-bondong sebagian besar isi kelas keluar menuruti perkataan dari Ganefo, menyisakan saya dan beberpa teman yang sedikit kebingungan. Saya pikir ini sejenis lelucon, atau mungkin, seorang dosen kurang kerjaan yang ingin mengetes mental para mahasiswa baru ala-ala militer. Majulah saya ke mejanya untuk menyampaikan secara ‘baik-baik’ bahwa saya keberatan.
Hasilnya, saya hanya mendapat dua pilihan, mengikuti hukuman atau keluar kelas. Tidak ada toleransi katanya. Ya sudah, saya keluar, terusir.
Apa yang ada di benak Ganefo mungkin kami hanya sekedar menyalin artikel tanpa mendalami ‘substansi’-nya. Dalam hal ini ia mencoba menerapkan gambaran ‘ideal’ proses diskusi yang ada di benaknya, seperti: duduk melingkar, saling berkomunikasi satu sama lain, membuat kesimpulan dari hasil dialog, dan tanpa perlu ada bantuan dari handphone. Kami dianggap sudah tidak serius untuk melakukan proses diskusi dikarenakan penggunaan handphone.
Namun, tidak demikian dengan apa yang dikatakan Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas. Tidak ada kondisi ‘ideal’ yang harus dipaksakan di dalam kelas. Gambaran hubungan guru-murid bisa jadi merepresentasikan pola penindasan yang ada di tengah masyarakat. Sebuah pandangan konvensional bahwa “guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa” adalah contoh sederhananya.
Dalam kondisi seperti itu, murid dipaksa untuk menerima apapun yang dianggap benar oleh guru. Tidak ada upaya untuk terjadinya proses dialogis antara guru-murid, menjadikan baik guru maupun murid hidup dalam realitasnya masing-masing. Tentu sebagai kaum yang lebih lemah murid telah menjadi yang ‘tertindas’, oleh sebab itu, proses itu tidak dapat disebut sebagai proses pendidikan ataupun mendidik―yang hakikatnya adalah membebaskan.
Saat bertemu di samping lapangan, saya sempat sedikit berbincang dengan teman-teman yang telah menjalankan hukuman.
“Loh, kok kamu mbawak tas? Sudah selesai ta kelasnya?” tanya seorang cewek yang satu kelas dengan saya.
“Nggak, aku nggak mau dihukum, ngapain? Akhirnya aku disuruh keluar.” sahutku yang saat itu merasa cukup kesal juga. “Kesalahan akademik kok dihukumnya fisik, nggak masuk akal!” Aku asal nyeletuk, dengan maksud membuat mereka sedikit berpikir.
“Nah, sakjane aku yo mikir ngunu!” Salah seorang kemudian menyahut dengan nada yang cukup meyakinkan. Saat itu kami bergerombol di depan gedung Perpustakaan seperti mau tawuran. Namun tetap saja, sahutan seperti itu tak banyak digubris oleh yang lain, dan mereka pun kembali ke kelas.
Sedikit percakapan itu kemudian menjadi gambaran. Rasanya memang tidak bisa memaksakan realitas yang saya terima―bahwa kami sedang ditindas, diperlakukan sewenang-wenang―kepada teman-teman yang lain. Meskipun menolak sikap dari dosen, mereka tetap menjalankan apa yang diperintahkannya. Tidak ada sedikitpun rasa takut yang tampak di wajah mereka yang menandakan ‘ketertindasan.’ Yang ada hanya mereka ingin semuanya segera selesai. Tanpa memperdulikan sikap dosen yang semaunya sendiri.
Mungkin mereka menganggap rasanya percuma saja mengkritisi dosen ataupun kampus saat ini. Toh, tidak akan banyak perubahannya. Yang penting semuanya segera selesai. Ini merupakan sikap pesimis yang seringkali muncul di kalangan mahasiswa. Terlebih karena mereka juga memiliki banyak alternatif lain di luar kelas formal.
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Max Weber terkait tindakan sosial dimana pilihan-pilihan rasional telah memungkinkan manusia keluar dari ikatan tradisi yang memiliki sifat normatif. Ruang kelas formal adalah gambaran tradisi pendidikan yang cenderung normatif dan kaku. Sementara itu, pembelajaran di luar kelas dengan dukungan internet mampu menjadi pilihan yang rasional ketika tidak ada lagi ‘esensi’ yang didapatkan dari kelas formal. Weber menyebutnya ‘verstehen’ yang menuntun tindakan sesorang atas kondisi-kondisi sosial tertentu.
Meskipun terdapat pilihan rasional untuk mencapai pembelajaran di luar, murid tetap harus mengikuti ruang kelas formal akibat adanya suatu ‘orde keabsahan.’ Menurut Weber, yang dimaksudkan sebagai orde keabsahan adalah suatu dominasi yang memungkinkan pengaturan atas pola perilaku masyarakat.
Pendidikan formal telah jadi standar tahapan dan taraf hidup yang baik di tengah masyarakat. Mereka yang menghindari atau menolaknya akan dikenai sanksi sosial yang tak kasat mata, dalam hal ini artinya semakin memperkuat dominasi universitas secara tidak langsung.
Itulah bagaimana penjelasan atas sikap ‘pesimistis’ terhadap ruang kelas formal dapat diterima. Karena barangkali sebagian besar murid hari ini hanya menjalankannya sebagai formalitas belaka.[]
Editor: Nizzar Kusuma