Cerpen “Ibu Bumi Abah”

Aku kangen dengan semangat hidupnya. Saat aku masih kecil dulu, hidupnya sungguh bergairah. Aku masih ingat dengan semangatnya ketika mengajariku cara menyeduh akar Kayu Bajakah.

“Kalau kamu minum ini, Nak. Dijamin tubuhmu akan tetap bugar. Dirimu juga cepat besar. Mau, kan, kekar dan sehat seperti Abah-mu ini?” aku selalu mengangguk dengan semangat, “Nah, kalau mau, kamu harus rajin minum seduhan ini.”

***

Sewaktu kecil aku juga pernah berjanji, jika kelak memiliki ading, aku akan mengajarinya hal yang sama yang diajarkan oleh abah padaku. Abah adalah yang kusebut dengan “idola” sebelum aku tahu, ternyata yang banyak orang sebut sebagai “idola” ialah para penyanyi semacam Ed Sheeren atau Tulus. Entah, tapi sampai sekarang aku tetap mengidolakan abah lebih dari siapa pun.

Aku tak yakin Ed Shereen bisa memimpin warga sekitar untuk membuka lahan. Ya, membuka lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Yang kuingat, abah dulu berkarib dengan Amang Seburi. Mereka berdua adalah orang yang paling berkontribusi dalam mengumpulkan para pria untuk menebangi pohon, menumpuknya, dan kemudian membakarnya. Mereka juga yang memimpin para wanita dan anak-anak sepertiku untuk mengambili daun basah dan berjaga di sekeliling tumpukan kayu yang dibakar. Iya, daun basah adalah alat yang sangat manjur untuk memadamkan api yang “nakal” keluar lahan, selama dilakukan secara bersama dan semuanya waspada. Tidak perlu mobil besar dengan selang besar, apalagi helikopter seperti saat ini. Kebakaran hutan tidak pernah terjadi karena kami semua tak pernah teledor.

Mungkin juga, itu karena niat kami semua baik. Hutan adalah sahabat kami. Setelah dibuka dengan ditebang dan dibakar, hutan itu kami tanami dengan padi gunung. Kami juga tak akan membiarkan Ibu Bumi memakan racun kimia dari pupuk-pupuk yang kata orang di luar sana menyuburkan. Setelah panen dan menikmati hasilnya, kami lalu berpindah ke sisi hutan yang lain untuk membuka lahan lagi dan membiarkan bekas lahan kami menjadi hutan lagi.

Aku berumur lima belas tahun saat ading-ku, Ino, lahir. Aku sungguh senang saat itu, akhirnya aku benar-benar menjadi kakak! Aku sudah terbiasa dengan ajaran-ajaran ayahku, dan aku bersemangat sekali untuk mengajarkannya juga pada ading-ku ini. Tapi aku janggal, uma dan abah terlihat sedih. Kesedihan yang mengotori kebahagiaan mereka karena akhirnya aku punya seorang ading.

“Tidak, Seburi. Kehadiran para transmigran itu justru akan merusak hidup kampung kita,” pembicaraan serius itu justru kudengar saat Amang Seburi datang ke rumahku untuk mengucapkan selamat atas kelahiran ading-ku.

Beberapa tahun aku kemudian tahu, kalau ternyata kemuraman Abah dan Amang Seburi  di ruang tamu saat itu karena ada berita bahwa Presiden Soeharto ingin memindahkan orang-orang dari Pulau Jawa ke tempat kami. Alasannya, untuk pemerataan. Sebenarnya hal itu tidak masalah. Kami justru akan mendapat banyak tetangga dan kerabat. Yang menjadi masalah adalah, kami tidak dilibatkan dalam pembagian lahan dengan orang-orang baru tersebut. Jadinya, lahan-lahan garapan kami diambil alih pemerintah tanpa persetujuan kami.

“Kalian tidak punya surat sah untuk lahan-lahan ini. Jadi, pihak pemerintah adalah pemilik sah dari lahan-lahan ini!” salah satu yang kuingat dari percakapan petugas yang ditugaskan “mematok” lahan kami dengan Abah, Amang Seburi, dan para penduduk pria dewasa lain.

Abah dan Amang Seburi adalah orang yang paling terlihat melawan kebijakan itu. Setiap hari perdebatan dilakukan dengan petugas yang datang. Perlawanan kami lumrah. Sebab, bukan hanya tidak dilibatkan dalam pembagian tanah, kebijakan yang tersiar juga adalah: pemerintah akan mengizinkan perusahaan-perusahaan tanaman industri untuk membabat hutan kami menjadi kebun sawit.

Sayangnya, kejadian yang kemudian kuketahui saat besar: para aktivis di Jakarta banyak hilang, juga menimpa Amang Seburi. Dia berangkat ke ladang dan tak pernah kembali. Sejak saat itu, semangat abah ikut menghilang juga. Bukan hanya semangat untuk melawan, tapi juga semangat hidup!

Akhirnya, para tentara didatangkan untuk menjaga daerah kami—mungkin untuk mengatasi jika sewaktu-waktu perlawanan kami pecah dengan anarkis. Lalu, para transmigran didatangkan. Mereka membabat hutan-hutan kami. Membangun rumah di sana. Tak mau kalah, buldozer-buldozer besar pun juga didatangkan. Hutan kami dibabat habis-habisan. Yang ada kini tinggal kebun sawit.

Ilustrasi: Dini Yuriandana

Semangat abah yang sudah hilang tak boleh membuat keluarganya kesusahan. Ia bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit. Itu karena kini kami tidak bisa bertanam padi di lahan berputar kami yang dulu selalu diandalkan. Kami juga tidak bisa berburu karena habitat para binatang itu juga sudah sirna. Abah bekerja di perkebunan sawit dan gajinya diperuntukkan membeli beras kepada para transmigran yang lahannya ditanami padi sawah, lauk, dan biaya sekolah ading-ku. Aku juga ikut membantu, juga sebagai pekerja perkebunan sawit.

Ya, ading-ku kini jelas lebih pintar daripada kakak-nya. Aku juga tak perlu mengajarinya cara menyeduh akar Kayu Bajakah. Sebab, selain kini sudah banyak suplemen pembugar badan yang sebenarnya merusak ginjal sudah banyak beredar di kampungku, akar Kayu Bajakah juga sudah tidak pernah ditemukan lagi. Hutan kami yang kaya dulu sudah tidak pernah ada.

***

Semangat yang hilang di wajah abahku kini justru semakin bertambah hilang. Wajahnya kian hari kian lesu. Penyebabnya, Ino, ading-ku satu-satunya, dia tak kunjung pulang hingga sekarang. Ia kuliah di Bandung. Dalam surat terakhirnya dua puluh tujuh tahun lalu, ia meminta izin untuk memperjuangkan bangsa ini. Ia menggebu-gebu ingin ikut aksi kritik pemerintah. Namun, setelah itu dia tak pernah berkirim surat lagi, apalagi kembali. Kejadian yang sungguh mirip dengan Amang Seburi. Abah kehilangan semangatnya lagi bahkan sebelum semangatnya yang dulu kembali lagi!

Kegiatan rutinnya saat ini ialah bermain dengan cucunya. Ya, anakku sendiri. Aku menikah tiga tahun yang lalu dan beralih profesi menjadi petani sawah. Melalui tabunganku selama bekerja di kebun sawit, aku bisa membeli sawah. Melalui sawah yang aku beli, dengan sederhana aku bisa mencukupi kebutuhan hidup istri, abah, uma, dan anakku. Cukup bahagia.

Dan berita yang mengejutkan aku lihat di televisi pagi ini: Ibukota Negara resmi pindah! Berita yang semoga abah tidak mendengarnya. Aku kaget karena sebelumnya tidak pernah ada sosialisasi dan obrolan seperti dulu. Ibukota akan pindah, ke kampungku!

Orang lain mungkin akan senang dengan berita ini, kampungnya akan jadi ibukota. Itu berarti akan jadi kampung kaya. Namun, banyak dari kami yang belum memiliki sertifikat. Tentu trauma dulu kami khawatirkan terulang lagi: tanah kami dirampas!

Aku hanya bisa berharap hal itu tak terjadi. Bersama-sama kuajak warga kampung mengurus sertifikat—kami tak tersentuh program sertifikat tanah pemerintah! Kami harus mengurusnya sendiri. Sementara di lain sisi, aku tetap berharap: semoga abah tetap tidak mendengar berita ini. Semoga juga kerutan di wajahnya tetap seperti itu, tidak bertambah, agar dia tetap bisa bermain dengan anakku. Walaupun semangatnya tak pernah kembali, setidaknya tidak bertambah hilang (lagi)…

 

Penulis: Rizqi H.

Penyunting: Rodiatul M.

Ilustrasi: Dini Y.

Leave a Reply