Cerpen “Percakapan di Kereta”

Kereta sudah mulai berjalan ketika aku menemukan kursiku: 19A. Jalur Ketapang-Jember adalah kesukaanku—lebih tepatnya, aku memang hanya pernah menempuh jalur ini. Tepat di depan kursiku, yang sandarannya tegak 45 derajat (gerbong ekonomi yang agak membuat pegal pinggang!) ada seorang wanita dengan dua anaknya, lebih tepatnya: balita dan bayinya. Aku memang sedang terburu, tak terpikirkan olehku tentang bertanya di mana dia turun. Yang kucari selain kota tujuanku, Jember, adalah menikmati jalur ini, Ketapang-Jember. Dan aku justru tertarik dengan kedua anaknya.

“Dua tahun, Mas. Yang ini sebelas bulan,” jawabnya ketika sambil memberikan dot susu pada bayi yang digendongnya kutanya usia kedua anaknya.

Dua anak itu terlihat tampan dengan hidung yang mancung. Ah, sungguh senang pasti memiliki anak-anak yang masih lucu-lucunya seperti itu. Kalau istriku masih ada di sini, pasti anakku juga seusia anaknya yang dua tahun, setidak-tidaknya, sedikit lebih besar.

Tak kuteruskan perbincanganku dengannya. Tetapi, dia yang mendahului bertanya lagi.

“Kerja, Mas?”

“Iya, Mbak. Sales Manager di Jember.”

Kemudian, dia bercerita bahwa dulunya dia adalah TKW, lebih tepatnya mulai lima tahun yang lalu. Terpaksa berangkat ke luar negeri karena suaminya tak mampu menghidupi. Suaranya nampak sedih waktu dia menceritakan itu, tambah redam lagi karena tertutup masker. Apalagi matanya juga tertutup kacamata hitam, khas TKW yang baru pulang dari luar negeri.

Aku lalu teringat istriku. Dulu dia juga begitu. Aku begitu menyesal dulu menjadi orang miskin—dan lahir juga dari keluarga miskin. Aku tak bisa menolaknya ketika dia meminta izin kepadaku. Alasannya sungguh tak berhak dan tak dapat kutolak—memang dari kesalahanku. Aku miskin waktu itu, hanya seorang buruh tani. Sementara aku adalah anak sulung. Rumah orang tuaku yang luasnya hanya tujuh meter persegi takkan cukup untuk menampung tiga adikku jika ditambah dengan istriku. Istriku pun sama, juga bungsu, malahan dari lima bersaudara. Jadi, aku harus segera membangun rumah. Semua tabunganku ditambah tabungannya dikumpulkan, ditambah hutang-hutang yang kuhimpun dari tetangga dan sanak. Aku membangun rumah, walau sangat sederhana, bahkan tak layak. Ternyata belum selesai, hasilku bekerja hanya cukup untuk menyicil hutang-hutangku. Akhirnya, istriku mendapat tawaran itu: menjadi TKW…

“Ternyata tidak seindah tawaran yang diberikan mereka, Mas.”

Ilustrasi: Dini Yuriandana

Lalu dia bercerita saat di Arab—Arab! Jangan-jangan kedua anak itu…ah tidak, tidak—awalnya biasa-biasa saja. Gajinya lumayan besar, lebih dari cukup kalau hanya sekadar untuk makan sehari-hari. Bahkan untuk membeli motor dan memperbaiki rumah. Tiga bulan pertama gajinya, dipergunakan untuk membayar biaya keberangkatannya. Lalu bulan berikutnya digunakannya untuk mengirim suaminya di rumah, dititipkan lewat agen penyalur TKW-nya.

Ah, sayang sekali istriku dulu tidak begitu. Uangnya tak pernah dikirimkan kepadaku. Mungkin, alasan sebenarnya berangkat menjadi TKW adalah karena memang sudah tak betah hidup denganku. Lalu dia mencari pelarian dengan pergi ke Arab—hei! Jangan-jangan wanita ini adalah istriku! Tapi tidak, dia mengirim uang ke suaminya, tapi istriku tidak pernah, mungkin uangnya dihabiskannya untuk bersenang-senang dan hidup mewah di sana. Dan untuk apa kukenangkan sekarang. Dia telah mati.

Kemudian, dia meneruskan ceritanya. Pernah katanya, suatu malam dia merasa sangat mengantuk, lalu dia tidur, dan terbangun dengan rasa aneh di selangkangannya. Kejadian seperti itu terjadi tak kurang dari dua kali seminggu—kecuali saat dia haid. Sebulan kemudian dia muntah-muntah, lalu bulan-bulan berikutnya perutnya membesar. Dia hamil!

“Jadinya yang besar ini, Mas,” kali ini mungkin matanya telah mengalirkan air mata.

Semenjak itu, dia terlarang pergi ke luar rumah dan memegang ponsel. Hari-harinya hanya di rumah mengurus majikan baru: anaknya sendiri! Tapi tetap, dia tetap mengurus pekerjaan rumah yang memang adalah tugasnya di kontrak kerja. Sampai kejadian yang tadi berulang lagi, bahkan sebelum majikan kecil pertamanya berhenti menyusu! Dan jadilah bayi sebelas bulan yang masih digendongnya itu.

Tapi sial! Aku justru tidak bisa lepas dari pikiranku yang coba kulupakan tadi. Aku justru ikut sedih, justru mungkin lebih sedih. Kabar istriku yang mati, dan aku dan keluargaku dan keluarganya yang tak mampu memulangkan jenazahnya dahulu justru memenuhi kepalaku saat ini!

Tapi mungkin dia tak memperhatikanku, dia terus saja bercerita. Mungkin karena mataku yang tak terlihat karena aku juga memakai kacamata hitam, persiapan untuk kerjaku nanti.

“Aku tak betah dengan kondisiku yang seperti itu…”

Dia meneruskan bahwa karena ketaknyamanannya, suatu malam, setelah dia menemukan obat tidur yang dipakai majikannya dulu untuk memperkosanya. Saat tertidur, pisau dapur yang biasanya ia pakai untuk memotong cabai, kini dipakainya untuk memotong leher majikannya.

“Kepalanya aku taruh di toilet, beruntung aku ingat, harus memakai sarung tangan lateks, akar tak berjejak. Jadi ini memang sudah kupersiapkan. Lalu kedua anak ini kubawa kabur, beserta pisau dapur itu.”

Pintar! Tapi sayang sekali, dia tidak terpikir: data dirinya, ke-tiba-tiba-annya hilang, dan apalagi dia melarat…

Kereta berhenti, ternyata Stasiun Kalisat adalah tujuannya. Geragapan ia langsung mengangkat kopornya dan tasnya dan bayinya dan balitanya yang lari terpontal di belakang. Tak sempat ia persiapan sebelumnya: terlalu fokus bercerita sampai tak dengar pengumuman.

Saat kereta berjalan lagi baru kusadari ternyata dompet wanita itu terjatuh. Aku mengambilnya. Terpaksa kubuka untuk mengecek alamat agar dapat kukembalikan dompet ini ke rumahnya.

MasyaAllah! Ternyata wanita tadi memang istriku…

 

 

Penulis: Rizqi H.

Penyunting: Rodiatul M.

Ilustrasi: Dini Yuriandana

Leave a Reply