Mari merefleksi diri. Bahwa hidup adalah soal dualisme. Baik dan buruk. Bahagia dan sedih. Keramaian dan kesunyian. Kebersamaan dan kesendirian. Hitam dan putih. Yin dan Yang. Rwibhinnedha. Suatu kali kita berbahagia, bersenang-senang bersama orang-orang tercinta. Hidup terasa indah dan ringan. Tidak ada beban.

Namun suatu kali juga, hidup terasa berat. Kesendirian yang tidak diinginkan tiba-tiba muncul. Sunyi. Kesedihan tiba-tiba melanda. Di saat-saat seperti itu, justru kepala yang terasa ramai. Atau sebaliknya, keramaian yang tidak diinginkan tiba-tiba bergejolak. Kejenuhan melanda. Memaksa kita sejenak menepi. Menenangkan keramaian itu.

Hidup memang seperti itu. Kita tidak bisa mengelak. Yang dapat kita lakukan hanyalah mencoba seimbang. Hitam tidak lebih banyak daripada putih. Putih tidak lebih banyak daripada hitam. Sekali lagi, hanya upaya yang bisa dilakukan.

Apapun yang terjadi, berbincang dengan orang terdekat itu perlu. Pun mengakrabi alam. Menuangkan hitam yang terlalu banyak, lalu mengisinya dengan putih agar seimbang. Orang-orang terdekat akan menampungnya. Alam juga dengan sukarela menerimanya. Menukar hitam yang kita tuangkan dengan putih yang timbul dari cerita yang kita bagikan.

Yang terpenting adalah tetap hidup. Walaupun bertahan hidup adalah hal yang dialektis. Bagaimanapun, kata Marx, hidup harus dipertahankan walaupun mati taruhannya. []
Oleh: Rizky Alfi
Editor: Fatmawati, Rizqi Hasan