Harusnya Ia Menyesap Kopi Sedikit Demi Sedikit

Ia punya kebiasaan buruk meminum setenggak kopi segelas bagian bapaknya ataupun yang ibunya buatkan untuknya, setiap pagi. Dikatakan kebiasaan buruk karena ia bebal kala beberapa kali dinasihati oleh orang tuanya.

“Untuk remaja sepertimu tidak baik minum kopi sebelum perutmu terisi apa-apa, apalagi meminumnya dalam setenggak sekaligus.”

Itu suara kekhawatiran ibunya ketika masih menjerang air untuk memenuhi dua cangkir kopi. Bapaknya juga menyambung,

“Kebiasaanmu itu tak baik buat lambungmu. Kamu belum biasa, bukan?”

Bapaknya mengatakan itu juga efek dari kopinya sering tandas duluan sebelum sempat menghirup aromanya pun. Anaknya sering hanya menyisakan cangkir suam-suam kuku yang hanya terisi ampas.

“Pahit itu manis yang sembunyi, seorang harus tabah menikmati .. mengurainya…” lanjut bapaknya bijak tapi terdengar klise.

Ketika bapaknya berkata begitu ia memang sadar sudah beberapa kali lambungnya perih dan puncaknya terbaring beberapa hari di kamarnya. Kuliahnya sering berantakan terutama sebab itu.

“Ini juga masih tahap pembiasaan kok, Pak. Tinggal sedikit lagi.” Ia hanya selalu menjawab seputar itu.

Sebenarnya kebiasaan buruknya itu dimulai bersamaan saat ia menjadi maba di perguruan tinggi di daerah kotanya. Ia sendiri adalah orang yang agak terbelakang otaknya. Ia bisa masuk perguruan tinggi lantaran perguruan tinggi tersebut terbilang baru jadi dan butuh diisi mahasiswa. Nah ketika ia memeroleh tugas menulis tugas kuliah terutama makalah, ia tak pernah bisa sama sekali.

Sudah berbagai upaya ia kerahkan mulai dari menjiplak banyak-banyak tulisan di internet, membeli, memasrahkan sepenuhnya pada teman kelompoknya, dan yang terakhir inilah yang menjadi kebiasaan buruknya sampai saat ini: meminum sekali tenggak secangkir kopi milik bapaknya saat tiba malam hari. Niatnya sebenarnya baik untuk mengerjakan makalahnya semalam suntuk tapi berkali-kali tak pernah bisa. Oleh karena itu ia jadi ketagihan kopi lantaran usaha sia-sianya itu.

Ia jadi sering kacau pikirannya dan sering melamun sendiri menghadap kurung ayam di sisi kanan rumahnya. Untuk kemudian jalan terakhir dari semua itu adalah mandi tengah malam lalu setelahnya tidur tanpa memakai baju di kamarnya sambil kipas angin ia hidupkan. Subuh kemudian ia akan memeroleh hasilnya: demam.

Begitu pula kepada kekasihnya, ia akan lebih dingin dari biasanya kala diajak berbicara baik secara langsung ataupun di sambungan telepon. Untuk beberapa bulan terakhir, kekasihnya sudah kesal sendiri meladeni terus-terusan tingkahnya yang tambah misterius itu. Tepat sebelas bulan lalu kekasihnya semakin surut menghubungi ia dan ia baru tersadar akan rasa kehilangan dalam hatinya saat ia menjalani waktu libur dari kampus yang terlalu banyak itu.

Ia baru merasa bahwa hatinya kosong belaka. Maka ia mulai berupaya menghubungi kekasihnya dengan berbagai cara galib. Menelepon sudah, bahkan berkali-kali. Kemarin ia pergi ke rumahnya dan hanya menemukan ibu kekasihnya yang mengatakan bahwa seorang yang ia cari sedang pergi ke rumah pamannya di luar kota. Tak ada. Ia tak berhasil mendengar suara kekasihnya pun. Pada saat itulah ia hanya bisa mengurai kerinduannya yang lancang menusuknya dari belakang.

Selain itu, setiap pagi ia akan menghabiskan kopi sekali tenggak dan bapaknya yang sudah hafal kepada tabiat buruk barunya itu selalu was-was dan berjaga-jaga kalau-kalau nanti kopi bagiannya kena minum anaknya yang akhir-akhir ini semakin tak mau dengar nasihatnya dan sering murung sendiri menghadap kurung.

***

Malam ini adalah malam waktu ia mengerjakan makalah kelompoknya setelah dua bulan kembali masuk kuliah, empat bulan semenjak tak lagi mendengar suara kekasihnya sama sekali. Pikirannya kusut di rumah. Jam sembilan malam ibunya sudah tidur padahal ia sedang ingin menyesap kopi walau perlahan. Ia segan membangunkan ibunya untuk diminta menyeduh kopi untuknya. Makanya malam ini ia memilih jalan terakhir pergi ke warkop setelah pertigaan di utara tak jauh dari rumahnya.

Ia bisa berjalan sambil mengenakan jaketnya. Beberapa angin menguntitnya di belakang memburu tengkuknya. Berjalan sendiri hanya untuk memanjakan kerongkongannya dengan secangkir kopi. Ia harus mengerjakan Bab I malam ini dan itu sulit baginya. Ia mau tidak mau harus tak tidur.

Sebenarnya ia sedikit keberatan pergi ke warkop itu karena hal demikian sama saja dengan memarani ke luka yang masih belum purna ia keringkan. Sebab di tempat itulah ia sering menghabiskan waktunya bersama sang kekasih meski hanya dengan memesan secangkir kopi yang tak dihabiskan. Tapi pikirnya, ini tidak akan lama karena ia tidak yakin akan benar-benar menguasai kebiasaan buruknya. Paling-paling ia hanya akan menyeruput sedikit demi sedikit sebentar saja dan akan langsung menenggaknya sekaligus. Setelahnya ia akan cepat-cepat bayar lalu pulang.

Ini adalah sesap ketujuh yang menyebabkan kopinya bersisa setengah cangkir. Sambil menunggu ampas matanya selalu tertuju pada tempat duduk deret sebelum pojok tempat ia menyesap latah kopi ditemani kekasihnya sampai mentok.

Matanya tak berpaling sedikit pun dari tadi. Seolah ingin mengaktifkan sugesti pikirannya dan menjadikan kekasihnya nyata. Dan hasilnya, berhasil!

Ada Erin duduk di sana. Matanya masih ragu. Tapi akhirnya tetap percaya bahwa Erin nyata duduk di sana. Bukan hanya suara desah kekasihnya ketika duduk itu yang bisa telinganya nikmati kembali tapi juga senyum yang mengembang darinya. Tapi rasa pahit kopi sekonyong terasa di kerongkongan mana kala ia juga menyaksikan seorang lelaki yang baru saja memesan kopi duduk di bangku sebelah kekasihnya. Mereka tampak langsung saling melempar canda-tawa.

Jakunnya tercekat. Kemudian menelan ludah. Matanya tetap tak berkedip. Tak ada suara, hanya sunyi di pinggir bundar lepek yang rasanya ia dengar. Hatinya tak menentu. Ia tolah-toleh sembarang kepada sesuatu yang harus matanya jatuhkan untuk mengalihkan pandangannya. Pada akhirnya ia tak punya pilihan lain selain menyesap sekali tenggak kopi yang sudah tersisa setengah. Tak peduli ada ampas yang juga ikut ia lampiaskan ke kerongkongannya.

Tanpa dinyana setelah kopinya tandas ia malah semakin panas dadanya. Ia bersungut-sungut. Dadanya naik-turun. Ia seperti tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Hatinya terbakar.

Tatkala si lelaki itu melawak, Erin menyambut itu dengan gelak tawa yang meledak. Tawa itu meski ia rindukan terasa mengiris hatinya. Oleh karenanya ia jatuhkan lepek dan cangkir kopinya ke lantai. Beberapa ada yang menoleh ke arahnya termasuk sepasang kekasih di sana, tapi tak lama. Ia bisa mengatasi semua pandangan orang-orang dengan menundukkan wajah ke bawah berdalih memungut pecahan beling.

Bergegas ia menghampiri kekasihnya itu lalu memorak-porandakan wajah Erin dengan beling yang ada di kedua genggamannya. Kekasihnya itu menjerit kesakitan atas perlakuannya. Beberapa orang yang ada di warkop mengamankannya selepas ia menerima bogem mentah dari lelaki yang menemani kekasihnya dari tadi. Seluruh ruangan panik. Sang pemilik warkop baru menyadari ada barangnya yang pecah.

Jam sepuluh lewat. Bapaknya datang meminta maaf kepada seluruh warga, mengemis supaya kasus anaknya tidak dibawa ke ranah hukum sambil menaifkan wajah yang porak-poranda oleh anaknya sendiri. Terutama ke rumah Erin untuk bertemu orang tuanya. Dengan segala konsekuensi yang akan didapatkan sebentar lagi, di jalan bapaknya merutuk wajah anaknya itu yang sudah lebam-lebam ungu amat keras.

“Harusnya kamu tidak memiliki kebiasaan buruk meminum kopi sekali tenggak! Pahit itu, Manis! yang sembuny.. Ahh..!!”

 

Editor: Fatmawati

Ilustrasi: Adi Faiq

Leave a Reply