Jaka Ndhelik dan Kesaksiannya

Jaka Ndhelik merasa bahwa ia adalah anak gembala paling bahagia di kehidupannya. Meski orang mengira hidupnya susah, ia merasa tak sungguh demikian. Ia adalah satu-satunya yang bersyukur hidup sebagai anak gembala. Ia tak belajar pada guru di sekolah, namun ia belajar dari kehidupan sesungguhnya lewat profesinya sebagai gembala. Ia tak kaya dari uang saku yang diberikan orang tuanya, ia kaya dari kesaksiannya sebagai gembala. Hingga sebelum waktu yang mengejutkan itu tiba, ia pernah berikrar pada dirinya sendiri untuk mengabdi sebagai manusia penggembala sampai akhir hidupnya.

Pada suatu pagi yang segar, ia selalu meminta doa ibunya yang pesakitan supaya hari ini pekerjaannya sebagai gembala selalu diberi kelancaran. Ia juga meminta pada ibunya agar berhenti menanyakan di mana ayahnya yang pulang-pulang selalu mabuk sesaat sebelum Jaka Ndhelik berangkat kerja. Setelah diciumnya kening ibunya yang makin mengkerut, ia pakai sepatu bobroknya dengan bangga. Pergi ke rumah Tuan Takur, menjemput sekawanan domba yang ia rawat dari kecil hingga ia masih tetap kecil.

Jaka Ndhelik tahu, tiap ia menjemput domba-domba putih yang sehat-sehat itu, Tuan Takur masih di kasur dirangkul istri termudanya tiap akhir pekan. Tuan Takur juga selalu tahu, bangun-bangun dari sisa-sisa orgasmenya ia akan menemui dombanya pergi dibawa Jaka Ndhelik ke kantor kebanggaan Jaka Ndhelik. Ladang rumput yang damai kadang-kadang juga tidak.

Sesampainya ia di kantornya, Jaka Ndhelik akan mencari tempat yang sekiranya domba-domba ini akan pulang dengan keadaan bertambah gemuk. Kemudian akan ia tinggalkan tidak begitu jauh, sebab ia selalu bertualang. Ia selalu penasaran cerita-cerita apa yang akan ia temui hari ini, hingga hari-hari berikutnya.

Seperti namanya, Ndelik akan bersembunyi di belakang markas yang selalu diandalkan oleh warga desa untuk melakukan suatu hal yang tidak pernah ia dapat di jalanan raya atau di dalam percakapan-percakapan orang desanya. Ia menganggap apa yang ia lihat di dalam markas ini adalah suatu ketabuan. Warga desa menyebut markas itu sebagai markas pendosa. Tidak ada yang tahu apa saja yang telah terjadi di dalam gedung tua itu kecuali si Jaka Ndelik. Gedung itu terletak tak jauh dari ladang tempatnya menggembala.

Pernah misalnya pada suatu pagi yang ribut, pasar-pasar ramai, percakapan dipenuhi dengan tawar-menawar pembeli kepada penjual ayam atau daging sapi. Seperempat kilogram ayam rasanya sudah cukup digunakan sebagai syarat memenuhi ambeng untuk tasyakuran bulan rajab. Jaka Ndhelik tetap tenang pergi ke ladang rumput bersama sekawanan domba, kemudian mendapat cerita baru di dalam markas pendosa.

Ia mengintip dari ventilasi rendah gedung tua itu. Suryani. Ia tahu itu sebagai tetangganya yang baik hati, yang suka membagi-bagikan makanan pada kaum miskin, sedang membawa karung dalam keadaan goyang-goyang, entah apa yang ada di dalamnya. Jaka Ndhelik tetap mengamati. Suryani kemudian membuka ikatan karung itu, dan mengambil seekor kucing liar yang ditemukan di hutan jauh dari ladang, kemudian dengan tega dan tanpa bismillah ia memotong leher kucing itu tanpa ampun. Setelah satu kucing mati, ia masukkan dalam kantong kresek hitam besar. Lagi-lagi mengambil seekor kucing dalam karung dan melakukan kegiatan itu berulang. Setelah kantong kresek itu terisi lima ekor kucing dengan kepala terpenggal, Suryani hendak pergi kembali ke rumah, dan dicegat dari pintu depan markas oleh Jaka Ndhelik.

“Apa kau sungguh tidak punya uang untuk membeli daging, sehingga dengan tidak pantas kau membunuh kucing-kucing liar yang sama sekali tak bersalah ini?” Suryani kemudian menangis meminta ampun pada Jaka Ndhelik yang masih bocah namun dipenuhi gaya yang sarkas itu.

“Jangan-jangan selama ini, makanan yang kau bagi-bagikan juga daging-daging haram ini.” Suryani berkali-kali minta ampun pada Jaka Ndhelik. Ia merayu Jaka supaya tetap bungkam melihat perbuatannya dan berjanji bahwa ia tidak akan melakukannya lagi.

“Tidak ada pembungkam yang ampuh selain uang. Tapi, kali ini, aku akan menjaganya baik-baik. Gunakan saja uangmu yang sedikit itu untuk membeli daging.” Kemudian Jaka Ndhelik pergi menemui domba-dombanya.

Atau pernah pada suatu siang yang terik dan basah. Jaka Ndhelik menyaksikan sepasang kekasih tengah dibakar hawa nafsu di dalam markas pendosa. Kali ini ia menikmati apa yang tengah ia lihat, sesuatu di bawah sanalah yang basah, kadang ia juga merapikan letaknya yang semakin tegang. Sepasang kekasih itu tidak berhenti mengunyah lidah satu sama lain, hingga pakaian yang mereka kenakan tidak lagi utuh, berhamburan di ujung-ujung gudang. Jelas, Jaka Ndhelik tau siapa mereka. Mas Bayu dan Mbak Sari, yang kisah cintanya terhalang restu orang tua. Jaka Ndhelik dan seluruh warga di desanya paham betul, permusuhan yang terjalin antara orang tua Mas Bayu dan Mbak Sari. Jaka Ndhelik tertawa bangga, jika apa yang dilihatnya akan menimbulkan perang ketiga.

Setelah sepasang kekasih itu membersihkan cairan berbau di keduanya, mereka kembali mengenakan pakaian dan Mbak Sari meminum pil yang Jaka Ndhelik tebak itu pil pencegah kehamilan. Jaka Ndhelik pun berjalan ke pintu depan markas, menunggu mereka keluar.

“Aku turut prihatin melihat kalian bercinta dalam keputusasaan. Apa jadinya jika aku melaporkan secara rinci tentang apa yang kalian lakukan di markas ini pada orang tua kalian?” Jaka Ndhelik tertawa. Mas Bayu mengeram marah. Mbak Sari terlihat jauh lebih khawatir. Ia meminta supaya Jaka Ndhelik tetap bungkam. Sehingga kalimat yang ia tunggu-tunggu akhirnya keluar. Mas Bayu anak tukang meubel itu bertanya, apa yang Jaka Ndhelik mau.

“Aku tidak meminta banyak. Kuharap kalian bisa memberiku sekarung beras untuk makan aku dan ibuku yang pesakitan.”

Jaka Ndhelik tahu, ayahnya yang tiap malam pergi mabuk dan menghabiskan uang di meja judi tidak akan cukup bertanggungjawab memberi ibunya atau bahkan dirinya makan. Ia benci tiap kali ayahnya pulang ke rumah dan menasihati Jaka Ndhelik yang siap berangkat kerja.

“Cari uang yang banyak, Nak. Untuk makan kau, ibumu dan untuk ayah gunakan berinvestasi di meja judi.”

Hingga hari itu, ia sedikit kerepotan merawat domba-dombanya yang sedikit rewel, terpaksa jam-jam untuk menyaksikan markas pendosa telat ia kunjungi. Meski begitu, ia tetap mampir di markas, untuk melihat adakah cerita yang menarik hari ini yang bisa bermanfaat untuk dirinya atau ibunya.

Jaka Ndhelik menaiki tangga yang ia buat sendiri sudah lama, dan menyaksikan lewat ventilasi rendah apa yang tengah terjadi. Mata Jaka Ndhelik hanya melihat punggung laki-laki bertubuh besar sedang melihat ke bawah, di bawahnya seseorang tergeletak lemas hampir mati. Jaka Ndhelik sedikit merinding, menyaksikan kenyataan yang ia tahu, bahwa tidak hanya hewan yang terbunuh di markas ini, manusia juga bisa. Laki-laki itu kemudian pergi keluar membawa sebilah pisau. Jaka Ndhelik mendelik hampir mati setelah tahu siapa orang yang tertusuk tepat di kedua matanya. Itu ayahnya.[]

 

Penulis : Sri Widayanti

Editor : Uswatun Khasanah

Leave a Reply