Waktu masih setinggi tunas kelapa bapak
sesekali mengamit badan lalu memastikan
setiap sayang sudah melumuri muka
karena ia yakin dinasnya sampai petang.
Kalau pulang aku yang masih versi kemasan
akan menyambanginya di depan rumah sambil
merentangkan tangan meminta dekapan.
Kadang-kadang pulang membawa kotak mainan
mahal–mahal kasih sayang.
Karena dilumuri oleh pelumas badan
ketika mati-matian di perapian kerjaan.
Setiap hari, setiap saat aktivitas itu kulakukan.
Hingga ketika petang hanya pesan yang datang:
Bapakmu sudah menyambangi Tuhan
Masih otak udang sepertiku mana paham,
jadi tiap-tiap petang tetap kutunggu bapak pulang.
Padahal Emak selalu mengingatkan
Bapak sudah menjadi kunang-kunang.
Jadi setelah mendengarkan,
tiap petang kumengobrol dengan bapak
awujud kunang-kunang di teras rumah.
Kuanggap saja bapak kunang-kunang.
Lama kelamaan sadar arti menyambangi Tuhan.
Kupikir hanya mampir layak tamu
tanpa menginap lama di rumah Tuhan
tetapi nyatanya tak pulang-pulang.
Bapak terlalu betah karena sudah nyaman.
Raga bapak saja sudah di kembalikan ke alam
mana bisa bapak pulang.
Kalaupun pulang
tak mungkin pula menyapakan melalui pengindraan
karena sudah beda penempatan oleh Tuhan.
Sadar harus banyak tahun dihabiskan
Jumlah petang untuk menunggu
sudah tidak bisa lagi diikrarkan oleh jari
hingga usia ini sudah hitungan bujang
tetapi isi kepala tetap masih memasihkan bapak dalam ingatan.
Jember, 7 Oktober 2024
Penulis: Anabela Septyana
Ilustrasi: Anabela Septyana
Pers Kampus Tegalboto
Menuju Pencerahan Masyarakat