Tegalboto – Putih dengan sedikit warna biru, buku dengan judul “Saksi Kunci” itu tergeletak di karpet merah Tegalboto. Mungkin buku itu baru dibaca dan digeletakkan begitu saja. Melipat kaki, saya mengambilnya. Membaca tulisan yang ada di sampulnya, lalu membaliknya untuk mengetahui sinopsis yang biasanya terdapat di sampul belakang. Ah, ternyata sampul belakang terisi komentar para pembaca yang kebetulan artis papan atas dunia jurnalistik. Sebut saja Goenawan Mohammad. Semakin membuat saya tertarik saja. Belum lagi sampul depan yang bertuliskan “Investigasi Skandal Pajak Terbesar di Indonesia” yang ditulis oleh wartawan Tempo, Metta Dharmasaputra. Meskipun saya sendiri tidak tahu siapa itu Metta, tapi embel-embel “Tempo” membuat saya tertarik untuk membacanya. Tanpa izin dari si pemilik buku, saya bawa buku itu pulang ke kosan.
“Kita tidak akan pernah menang, jika kewenangan itu adalah sebuah kewenang-wenangan” selarik pesan dari Gunawan Mohammad yang dikirimkan melalui telepon selular kepada Metta Dharmasaputra, mengawali prakata dari “Saksi Kunci” ini. Dari selarik pesan itu saya menduga bahwa semakin kebelakang, buku investigasi ini akan mengarah pada keterlibatan aparat negara yang memihak si pelaku skandal pajak. Dan ternyata benar. Tidak kaget, hanya merinding saja saat membaca tiap kata betapa busuknya sistem peradilan negara majemuk ini.
Semua berawal dari pertemuan Vincent Amin Sutanto dengan seorang teman lama bernama Hendri Susilo pada 2003. Vincent adalah seorang yang memiliki posisi penting sebagai Group Financial Controller Asian Agri yang membawahi urusan keuangan. Sementara Hendri saat itu pengangguran. Pertemuan mereka mulai membahas kongsi bisnis yang melibatkan rencana mengambil “sedikit” uang dari brankas Asian Agri Group.
Lalu berjalanlah rencana mereka untuk mendirikan usaha fiktif guna mengambil “sedikit” uang dari brankas Asian Agri Group. Ferry Susanto, adik Vincent juga terlibat dalam aksi ini. Namun, belum juga uang yang mereka ambil dari brankas Asian Agri Group mengalir ke kantong, aksinya sudah terendus oleh Asian Agri. Menyadari bahwa bahaya mengancamnya, Vincent melarikan diri ke Singapura.
Bahaya yang dirasa Vincent ini tidak main-main melihat musuh yang harus dihadapinya adalah raksasa besar Asian Agri Group. Maka untuk menyelamatkan nyawanya, Vincent berencana mengungkapkan kebusukan keuangan yang selama ini dilakukan bisnis Sukanto Tanoto tersebut. Beruntung posisinya sebagai Controller Asian Agri yang membawahi keuangan, ia tahu betul seluk beluk pengelolaan keuangan Group bisnis itu. Maka tidak sulit untuknya menyediakan bukti kebusukan Asian Agri, yang sulit adalah membuktikan tempatnya bekerja itu bersalah. Sangat sulit bahkan. Ia harus melalui jalan yang sangat panjang dan ancaman penjara 11 tahun di depan mata.
Selama pelariannya ke Singapura digunakan Vincent untuk menguliti dan menyusun data-data internal perusahaan yang digondolnya. Ia juga tinggal perpindah-pindah untuk menghindari pengintaian dari Asian Agri. Awalnya ia tinggal di hotel Grand Central di kawasan Orchard lalu pindah ke hotel Fragrance. Untuk menghemat biaya, Vincent kembali pindah ke hotel yang murah. Ia memilih hotel di kawasan China Town, Smith Street. Sampai akhirnya ia tinggal di kawasan kehidupan malam terbesar dan teramai di Singapura, yaitu hotel di Geylang Road, Lorong 10 dengan tarif Sin$ 30 atau sekitar Rp. 180.000,- semalam.
Ditengah situasi sulit yang ia hadapi, Vincent memutuskan mengirim sepucuk surat elektronik yang berisi ancaman pembeberan data-data perusahaan jika dirinya tidak diampuni kepada petinggi Asian Agri pada 22 November. Tidak hanya itu, Vincent juga meminta Ferry untuk mencari tahu pihak-pihak yang dapat dipercaya untuk menerima data-data Asian Agri, kalau-kalau permohonan ampunnya ditolak. Pilihan jatuh pada ICW dan Tempo.
Namun balasan dari Asian Agri mengindikasikan bahwa Vincent tak diampuni, jadi jalan kedualah yang diambilnya.
Semua Bermula
Metta Dharmawangsa menerima sebuah email dari seorang yang mengambil nama “Exrgmggroup” yang tak lain adalah Vincent Amin Sutanto pada 24 November 2006. Obrolan mereka berlanjut melalui Yahoo Messenger. Disana Vincent menjelaskan seputar dirinya dan alasan ia kabur ke Negeri Singa. Ia juga meminta kepada Tempo untuk segera menemuainya di Singapura, namun disampaikan Metta bahwa permaintaan itu sulit dipenuhi karena masalah tersebut baru akan dibahas di meja redaksi pada Senin pagi.
Di rapat itulah kemudian pimpinan redaksi Tempo Toriq Hadad menugaskan Metta menemui Vincent di Singapura. Maka berangkatlah Metta ke Singapura. Selama disana, Vincent menjelaskan berbagai informasi penggelapan pajak yang dilakukan mantan tempatnya bekerja. Selama pertemuan itu, obrolan-obrolan tercipta antara Metta dan Vincent. Mulai dari motif Vincent yang bertekat menabuh genderang perang pada Asian Agri, nasib keluarganya, bahkan sebersit keinginannya untuk bunuh diri atau menyerahkan diri ke kepolisian Singapura.
Vincent mengaku bersalah karena menggondol uang perusahaan sebesar dua ratus juta dan ia bersedia di hukum dengan adil. Namun, keadilan inilah yang Vincent yakini tidak akan ia dapatkan dari peradilan di Indonesia. Maka terpikirlah ia menyerahkan diri ke kepolisian Singapura. Untungnya, Metta berhasil membujukknya untuk menyerahkan diri ke KPK.
Tawaran untuk menyerahkan diri ke KPK disampaikan oleh Bambang Harymurti selaku Corporate Chief Editor Tempo melalui Metta. Pada 3 Desember, pihak KPK melalui operasi intellegent yang mirip-mirip film detektif, berhasil membawa Vincent kembali ke Indonesia. Di hotel aman dibawah lindungan KPK, Vincent dan beberapa staf KPK mulai sibuk dengan pekerjaan besarnya membongkar data-data Asian Agri. Namun rupanya, keberadaan Vincent sudah diendus oleh pihak Sukanto. Pengintaian sejumlah polisi pun tak terelakkan. Apalagi sebelumnya, Hendri Susilo dan Ferry Sutanto berhasil ditangkap di kawasan Jakarta Barat.
Vincent pun dipindahkan ke kantor di Juanda namun lagi-lagi langsung terendus pihak Kepolisian Metro Jaya. Tak seberapa lama, pihak kepolisian mengontak Direktur KPK meminta konfirmasi keberadaan Vincent di kantor anti-rasuah tersebut. Direktur KPK pun membenarkan hal tersebut. Namun rupanya kepolisian tak puas dengan jawaban tersebut sampai akhirnya sejumlah intel ditebar di luar gedung, siap menangkap Vincent.
Pimpinan KPK melakukan perundingan dengan Kepala Polda Metro Jaya lewat sambungan telepon. Perundingan berjalan alot. Sebagai jalan tengah, akhirnya disepakati Vincent akan “dipinjam” beberapa hari oleh KPK untuk keperluan pemeriksaan kasus dugaan korupsi pajak Asian Agri. Setelah rampung, Vincent akan diserahkan ke kepolisian.
Asian Agri juga memberikan ultimatum akan menuntut secara pidana pada pihak-pihak yang bekerja sama dan membantu Vincent lewat sebuah iklan yang entah disengaja atau tidak, dipasang di koran Tempo, 5 Desember 2006.
Modus Asian Agri
Dengan lawan sebesar Asian Agri sudah tentu sulit memperoleh kemenangan. Mereka memiliki “teman” dimana-mana. Dari mulai Polda Metro Jaya sampai bahkan wakil presiden saat itu pun (Jusuf Kalla) memberi sinyal keringanan hukuman group Sutanto Tanoto sehingga sedikit mengecewakan perjuangan Dirjen Pajak Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Modus manipulasi yang dilakukan Asian Agri untuk mengelabui negara melalui tiga cara berupa biaya fiktif, transaksi hedging (lindung nilai) fiktif dan transfer pricing (jual murah ke perusahaan afiliansi di luar negeri).
Biaya fiktif ini sering kali dimainkan Asian Agri dengan dalih pembuatan jalan, pembersihan rumput dan pembayaran jasa konstruksi. Cara ini dimaksudkan untuk mengempiskan keuntungan di dalam negeri agar beban pajak menyusut.
Transaksi hedging merupakan kontak jual beli suatu produk antara dua pihak untuk waktu mendatang berdasarkan harga yang telah disepakati saat kontrak ditekan. Berdasarkan setumpuk data yang diungkapkan Vincent, terdapat indikasi bahwa banyak transaksi hedging Asia Agri sesungguhnya fiktif atau transaksi yang hanya ada di atas kertas.
Sementara transfer pricing ini merupakan penjualan COD ke perusahaan afiliansi (fiktif) di Hongkong, British Virgin Island dan Makao dengan harga rendah sehingga terbebas dari beban pajak tinggi di dalam negeri. Namun, dari perusahaan tersebut baru akan dijual dengan harga tinggi ke pembeli nyata.
Ketiga modus tersebutlah yang coba diungkapkan Vincent kepada aparat negara. Namun batu-batu besar rupanya menghalangi usaha Vincent tersebut. Meskipun ia terbukti membawa lari uang perusahaan dua ratus juta rupiah, hal besar yang coba ia ungkap justru membawanya mendekam di penjara dengan ancaman 11 tahun kurungan.
Cara Jahat untuk Menjegal Kerja Investigasi
Bukan hanya Vincent saja yang mengalami kesulitan. Metta dan Tempo yang ikut terlibat dalam pengungkapan skandal pajak Asian Agri juga mengalami banyak kesulitan. Tempo dituduh mencoba menghancurkan bisnis raksasa Sukanto Tanoto. Ketika tuduhan tidak berjalan baik, mereka mulai melakukan penyadapan baik kepada Tempo ataupun Metta. Berita yang rencananya akan diterbitkan sudah diketahui oleh pihak Asian Agri bahkan yang tak layak terbit pun juga diketahui. Salinan sms dalam ponsel Metta juga tersebar ke publik. Ini membuat Metta dipanggil Polda Metro sebagai saksi terkait dugaan membantu Vincent.
Dari sekian banyak kesulitan yang dihadapi Tempo, yang menyedihkan menurut saya adalah dua hal. Serangan dari kawan seprofesi (apalagi eks Tempo) dan penelitian yang dilakukan Perguruan Tinggi Negeri atas dasar “pesanan” Asian Agri.
Setiyardi Negara mantan wartawan Tempo memulai konspirasi menjegal upaya investigasi yang dilakukan Tempo dalam kasus Asian Agri. Berbekal salinan SMS dan surat penggilan polisi yang dibawanya ke ruang redaksi majalah Tempo, dengan berapi-api dia manyatakan akan menggelar diskusi tentang etika pers untuk “menyelamatkan” Tempo.
Sayang beribu sayang ketika semua persiapan yang dilakukan, usahanya sia-sia. Rencananya tersebut justru menyulut kemarahan sejumlah awak redaksi Tempo yang mempertanyakan niat sesungguhnya di balik acara diskusi tersebut.
Sepak terjang menjegal Tempo terus dilakukan oleh pihak Asian Agri. Setelah upaya penyadapan, fitnah sampai meja hijau yang tak mampu membendung gerak Tempo, mereka berupaya memasuki kampus untuk “memesan” penelitian. Universitas Gajah Mada jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol pun tergaet. Dengan biaya dari Asian Agri tim yang dikepalai ketua jurusan Dr. Phil Hermin Indah Wahyuni melakukan penelitian cara kerja Tempo dan hasilnya sudah tentu memihak Asian Agri. Mata mereka tertutup uang. Keberpihakan tak perlu ditanyakan.
Investigasi Itu Tentang Kerjasama
Metta diserang, Tempo tak tinggal diam. Perlawanan Tempo untuk melindungi kerja jurnalistik wartawannya bersambut baik dengan hasil yang memuaskan meskipun jalannya tentu sulit. Sejak awal Metta mengemban tugas untuk menemui Vincent di Singapura, Tempo terus berada di belakangnya. Komunikasi yang baik antara seorang wartawan dengan lembaga yang menauinginya membuat cara kerja investigasi berjalan.
Peran Bambang Harymurti, Toriq Hadad, dan Malela Mahargasarie yang mendukung penuh, membela, mendampingi bahkan melindungi Metta dalam masa-masa sulit selama kerja investigasi ini membuat Metta tersambung semangat dalam menapaki tahap-tahap investigasi yang tak singkat.
Ini mengingatkan pada sosok Benyamin Bradlee seorang Redaktur Eksekutif The Washington Post yang banyak menjadi acuan kerja jurnalistik investigasi di masa selanjutnya. Sosok Bradlee yang tak tanggung-tanggung mendukung wartawannya, Bob Woodward dan Carl Bernstein sehingga sukses mengungkap skandal Watergate yang berujung pada pengunduran diri Presiden Richard Nixon. Sepatah ucapan Bradlee yang mengena di hati saya ketika ia berkata “Aku tidak bisa melaporkan wartawanku, itu berarti aku harus mempercayainya. Dan aku tidak suka mempercayai orang lain”. Ini yang patut ditiru oleh para redaktur diberbagai media. Dan saya rasa redaktur Tempo sudah meniru langkah Benyamin Bradlee ini.
Cara kerja investigasi itu juga bercerita tentang suatu kerja sama antara wartawan dan media yang menaunginya. Tanpa adanya kerjasama, investigasi berjalan timpang. Melihat nilai berita dan risiko yang diambil, kerjasama ini diharuskan untuk melindungi kemurnian dan keberlanjutan berita itu sendiri.
Lihat saja ketika Metta dipanggil ke Polda Metro Jaya, Toriq, Malela, Bayu Wicaksono (Corporate Legal Tempo) dan tim Lembaga Bantuan Hukum Pers yang diketuai Hendrayana fan Kepala Divisi Ligitasi Soleh Ali mendampinginya. Hingga pukul 16.00 pemeriksaan belum juga usai, para pimpinan Tempo mencium gelagat buruk Polda Metro berupaya untuk menehan Metta padahal tak ada pertanyaan lagi yang diajukan pada pemeriksaan tersebut. Bambang Harymurti pun menerobos masuk ruang pemeriksaan untuk melindungi wartawannya. Wow, saya merinding ketika membacanya!!!
Betapa kuatnya suatu lembaga ketika saling mendukung dan menguatkan!
Akhir Cerita
Ketika berita pahit datang bertubi-tubi selama enam tahun kasus penggelapan pajak ini, kabar segar pun mulai berhembus. Pada 26 Desember 2013, Mahkamah Agung memutuskan Asian Agri bersalah. MA menghukum Asian Agri untuk membayar denda Rp. 2,3 triliun dalam kasus penggelapan pajak dengan terdakwa Suwir Laut mantan Manajer Pajak Asian Agri yang dipidana 2 tahun dengan masa percobaan 3 tahun.
Denda itu setara dengan dua kali jumlah nilai pajak yang diduga digelapkan Asian Agri, yakni Rp. 1,259 triliun selama periode 2002-2005. Di luar itu, Direktorat Jendral Pajak Fuad Rahmany menegaskan bahwa lembaganya akan menagih pembayaran pokok wajib pajak ditambah denda keterlambatan 48 persen. Total yang harus dibayarkan Asian Agri sekitar Rp. 4,3 triliun! Eureka…!!!!
Nasib bebas Vincent sebagai whistleblower juga terpenuhi pada 11 Januari 2013 setelah mendekam lama dipenjara. Bebas bersyarat ini didapat Vincent ketika Presiden Bambang Yudhoyono berjanji memberikan imbalan kepada whistleblower dan justice collaborator berupa revisi, pengurangan hukuman atau pembebasan bersyarat. Janji ini diperkuat dengan konferensi pers yang dilakukan Wakil Presiden Budiono yang menegaskan bahwa pemerintah akan mengawal eksekusi putusan Mahkamah Agung soal Asian Agri. Vincent juga dinobatkan sebagai justice collaborator yang akan mendapatkan pembebasan bersyarat.
Lika-liku enam tahun dalam investigasi penggelapan skandal pajak terbesar di Indonesia ini akhirnya berakhir di titik bahagia. Untuk negara yang mendapat uang pajak yang digelapkan, Vincent yang bebas, dan Tempo yang sukses dengan investigasinya. Diakhir tulisan ini bolehkah saya mengucapkan kata-kata klise “Kebaikan pasti menang di atas kejahatan”. Hehe[]