Judul : ISINGA: Roman Papua
Penulis : Dorothea Rosa Herliany
Desain Sampul : Teguh Santosa
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2015
ISBN : 978-602-03-1262-0
Tebal : 210 halaman
Hutan di Pulau Papua ternyata menyimpan beragam cerita kehidupan, salah satunya adalah perempuan-perempuan yang tinggal di Perkampungan Aitubu.
Masyarakat Aitubu tidak mengenal kehidupan di luar wilayah Papua. Bagi mereka hidup adalah soal bekerja. Jika manusia tidak bekerja, maka sama halnya dengan mereka mati. Sebuah kehidupan yang sederhana. Begitu pun dengan susunan masyarakatnya. Mereka tidak mengenal yang namanya pemimpin. Mereka saling menghormati pendapat dan tidak ada sosok yang pendapatnya mutlak. Beberapa di antara mereka dianggap sebagai orang berpengaruh karena pengalamannya, bukan karena seorang pemimpin. Mereka pergi ke dukun ketika sakit. Mereka juga memiliki pembagian tersendiri antara orang laki-laki dan orang perempuan.
Meage adalah laki-laki Aitubu yang baru saja selesai menjalankan Upacara Wit, sebuah kegiatan sakral pertanda kedewasaan. Ia bersama beberapa temannya disambut dengan perayaan selepas kembali ke Aitubu. Sudah menjadi tradisi di Aitubu, bahwa perayaan selalu diiringi dengan nyanyian dan tarian. Mereka juga memasak babi hutan. Masyarakat Aitubu bersyukur, atas alam yang menjaga mereka serta bertambahnya laki-laki dewasa. Kelak laki-laki dewasa memiliki tugas untuk membuka kebun sagu baru dan berperang. Dalam upacara perayaan tersebut, Meage bertemu dengan Irewa. Perempuan yang selalu membuatnya berdebar.
Irewa adalah perempuan Aitubu yang berasal dari Dusun Kapo di sebelah timur, berbeda dengan Meage yang berasal dari Dusun Eryas di sebelah barat. Namun, keduanya tetap termasuk perkampungan Aitubu. Ketika melihat Meage, Irewa merasa kagum. Terutama ketika Meage memainkan tifa. Irewa menyukai Meage. Ia pun menceritakan pemuda yang dikaguminya itu kepada Mama Kame. Ia bercerita dengan alunan lagu. Irewa memohon Mama Kame mau menjadikan Pemuda itu menantunya. Mama Kame bahagia, putrinya telah beranjak dewasa.
Masyarakat Aitubu membedakan tempat tinggal laki-laki dan perempuan. Rumah Yowi untuk para laki-laki, dan Rumah Humia yang lebih sering ditempati para perempuan. Rumah Yowi seperti asrama laki-laki di Aitubu. Selepas menjalankan upacara kedewasaan, laki-laki akan tinggal di sana dan belajar tata aturan masyarakat. Sementara, Rumah Humia adalah tempat tinggal untuk keluarga. Hanya laki-laki yang telah beristri tinggal di sana, bersama anak-anak perempuan. Kemudian, anak-anak perempuan akan meninggalkan Rumah Humia setelah dipinang.
Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan sangat jelas bagi orang-orang Aitubu, juga orang-orang di perkampungan sekitarnya, yang berada di lembah Pegunungan Megafu. Laki-laki adalah alat untuk mendapatkan tanah ulayat (tanah perkebunan). Juga dapat menjadi pasukan yang diikutkan perang antarkampung. Sementara, perempuan adalah alat untuk mendapatkan anak. Perempuan juga bekerja di kebun-kebun yang telah dibuka oleh laki-laki, disamping membesarkan anaknya. Pekerjaan ganda perempuan ini tak jarang membuat mereka tertekan. Lebih-lebih karena mereka dilarang berbicara dan mengeluh.
Irewa dan Meage yang saling mencintai kemudian merencanakan pernikahan. Irewa yakin bahwa Meage adalah pria berbudi baik di kampungnya. Meage tak sungkan untuk sesekali membantu mama di Rumah Humia. Meage juga pandai berburu dan berkebun. Irewa melihatnya sendiri, bahwa Meage tak seperti laki-laki kebanyakan. Meage adalah pilihan hati Irewa. Ini adalah peristiwa penting di mana seorang perempuan melakukan pilihan, antara menolak atau menerima lamaran dari laki-laki. Hal tersebut bukan hal yang tabu di Aitubu. Akan tetapi, ketika perempuan sudah dipinang dengan mas kawin berupa daging babi, maka ia sudah tidak boleh lagi melawan suaminya. Tidak boleh berbicara, tidak boleh mengeluh. Begitulah perempuan yang baik.
Sebelum berhasil menikah dengan Meage, Irewa diculik. Pelakunya adalah Malom, pemuda Kampung Hobone yang lamarannya ditolak oleh Irewa. Hal ini menyebabkan pertikaian. Kampung Aitubu dan Kampung Hobone kembali bertikai untuk kesekian kalinya. Pemuda Aitubu yang marah menyerang Kampung Hobone. Meage ikut dalam rombongan tersebut. Mereka membunuh banyak pemuda Hobone. Namun, siapa sangka jika pemuda Aitubu kemudian didatangi orang-orang berpakaian hijau dengan senapan yang balik menyerang mereka. Banyak pemuda Aitubu dibunuh. Pemuda Aitubu tidak paham, mereka membunuh orang Hobone karena menculik Irewa, tapi mengapa orang-orang berpakaian hijau membunuh mereka.
Meage selamat dari pembunuhan orang-orang berpakaian hijau.
Irewa yang diculik terpaksa menikahi Malom. Irewa dijadikan juru damai. Irewa, seorang perempuan Aitubu, di tengah orang-orang Iko, orang-orang kuat yang tinggal di lembah Pegunungan Megafu, harus kehilangan kebebasannya secara paksa. Selepas menikah, Irewa harus mematuhi setiap keinginan Malom. Salah satunya, terus menerus melahirkan anak.
Pembahasan
Dorothea Rosa Herdianty pernah bekerja lebih dari 10 tahun di bidang penerbitan buku sastra dan komunitas seni. Ia telah melahirkan sejumah karya seperti buku puisi, cerpen, dan cerita rakyat. Novel berjudul Isinga: Roman Papua adalah karyanya yang dicetak pertama kali pada tahun 2015. Sekaligus karya keduanya yang berhasil meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa.
Novel ini berusaha menangkap realitas masyarakat di pedalaman Pulau Papua. Mereka hidup di tengah hutan. Bergantung pada hasil perkebunan sagu sebagai makanan pokok. Mereka mengungkapkan perasaan melalui upacara, ritual, dan nyanyian-nyanyian. Walaupun tampak sederhana, nyatanya terdapat banyak keragaman di antara masyarakat pedalaman Papua. Mereka yang tinggal di dekat sungai memiliki budaya berbeda dengan yang menetap di dekat danau. Belum lagi, masyarakat bagian luar atau pesisir. Secara keseluruhan, terdapat 300 suku di Pulau Papua yang memiliki keragaman masing-masing.
Satu hal yang disoroti dalam keragaman tersebut adalah posisi perempuan dalam masyarakat. Rata-rata perempuan masih dianggap sekadar alat memperbanyak keturunan. Prinsip ini tidak jauh berbeda di banyak suku yang menempati Pulau Papua. Perempuan yang dianggap baik adalah yang menghasilkan anak sebanyak mungkin.
Beragam masalah pun muncul akibat angka kelahiran yang tidak terkendali. Mama-mama di pedalaman Papua sering kali melahirkan bayi yang tidak sehat. Bahkan mengalami keguguran. Selepas melahirkan, mereka juga harus mengerjakan kebun sagu. Tidak jarang mama-mama di Papua merasakan kesakitan. Dipaksa menerima kewajiban untuk terus melahirkan, tidak peduli bagaimana pun kondisinya.
Novel Isinga: Roman Papua memiliki kekayaan yang luar biasa, baik itu dalam pemaparan kondisi sosio-kultural masyarakat Papua, maupun penggambaran alam di sana. Meskipun sebuah karya sastra, novel ini sesekali secara gamblang mengambil latar waktu yang jelas. Misalnya ketika pemilihan umum berusaha dipaksakan kepada masyarakat Papua tahun 1977. Polemik politik dan modernisasi di tanah Papua juga mendapat porsi tersendiri.
Secara keseluruhan Dorothea berhasil mengurai permasalahan rumit menjadi sederhana. Pembaca tidak akan dibuatnya mengernyitkan dahi. Kisah percintaan remaja polos antara Meage dan Irewa juga mengasyikkan. Saya juga merekomendasikan novel ini bagi yang tertarik pada isu kesetaraan gender. []
Editor: Anggota Magang UKPKM Tegalboto