Kumpulan esai yang lahir dari tangan penulis bernama Kalis Mardiasih, perempuan kelahiran Blora ini tergolong masih baru dalam kancah penulisan karya sastra, khususnya penulisan buku antologi esai yang ada di Indonesia. Walau bisa dikatakan pendatang baru dalam literatur kepenulisan negeri ini, namun buku ini tak sopan diremehkan ataupun dipandang sebelah mata sebagai wacana-wacana kosong yang gamang. Substansi buku ini begitu menggetarkan dan berkobar-kobar. Rupa-rupanya Kalis sudah memenuhi syarat paling esensial dalam menyatukan opini keperempuannya dengan analisis dan pengamatan yang begitu masif dan terstruktur.
Kalis tidak cengengesan dan menye-menye dalam menguliti dan membabad persoalan-persoalan mendasar gender ataupun polemik yang terjadi pada perempuan dewasa ini. Sampai terkadang saya berpikiran sebab merasakan ada sebuah kenaifan cita-cita pembebasan dan perlawanan yang terdengar begitu vokal dan santer baru-baru ini. Yaitu, upaya perempuan untuk keluar dari positivistik kebudayaan patriarki di Indonesia yang begitu kental dan mendominasi. Kalis memadukan literasi budaya ketimuran pada literasi keagamaannya yang dalam dan radikal dengan narasi-narasi energik pada spirit feminis barat untuk menerbitkan sintesis pemikiran yang moderat, dinamis, dan menggebu-gebu.
Membaca buku ini saya menilai Kalis terlaku genit dan hiperbolis dalam memposisikan perempuan sebagai kaum nomor dua, kaum yang selalu menjadi kambing hitam, kaum yang acapkali dieksploitasi dan dimarjinalkan keberadaanya. Saya mewakili kaum lelaki yang secara gamblang ditembak harga diri dan sisi maskulinitasnya lewat kritik tersirat dalam buku ini, sebenarnya tidak sepenuhnya sependapat dan mengamini fakta sosial subjektif pada buku ini.
Adat yang selama ini bertengger di kehidupan kita, dibentuk demikian estetiknya. Sebenarnya sudah selesai dan tamat. Toh para pendahulu kita tidak ada yang rewel pada keadaan ini.
Jika kita mempunyai waktu untuk mentracking sejarah ke belakang, mengapa sistem matrilineal di masyarakat Minangkabau begitu sukses dan moncer? Ketika kita berbicara perempuan Minangkabau yang terbayang dalam benak kita adalah adat budaya Minangkabau yang sangat menghormati posisi perempuan. Hal ini sejalan dengan persepsi budaya Minangkabau yang begitu adil dan demokratis dengan meletakkan perempuan di posisi sentral. Studi kasus satu ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan jahiliyah pada adat dan budaya kita dalam buku ini masih ambigu dan terkesan ndakik-ndakik.
Keberpihakan Kalis pada buku ini begitu frontal dan nyata, dia tidak setengah-setengah dalam menghendaki keberanian perempuan dalam berhijrah menyatakan pendapat di khalayak umum, setelah sekian lama terkungkung di penjara kejahiliyahan, konstruksi budaya, dan stigma-stigma negatif melalui pendekatan relasi kuasa dan politisasi bahasa.
Oke, saya tidak akan mempermasalahkan teknis dalam penemuan gagasan-gagasan dalam buku ini. Yang menjadi salah adalah jika para perempuan yang membaca buku ini hanya mencerna dan menelan mentah-mentah tanpa melakukan perenungan dan proses meraba-raba (tabayyun) spirit dan energik pembebasan pada buku ini. Dan pada akhirnya, pembangkanganlah yang akan terjadi. Istri-istri akan melakukan makar besar-besaran pada suami yang lugu dan tidak melek literasi, ibu-ibu akan kewalahan dengan anak perempuannya yang segan diatur, sisi anggun perempuan akan menjadi luntur sebab larinya yang demikian kencang dalam konteks zaman, perempuan akan semakin brutal sebab gerak-geriknya sudah tidak ada yang membatasi.
Itu semua hanya rapalan masa depan yang akan hanya menjadi sebatas ilusi jika para perempuan bisa menimbang-nimbang apa yang dilakukannya. Ingat, dalih-dalih pembebasan dalam teks keadilan ialah bertujuan untuk menetramkan apa yang awalnya ricuh, membenarkan apa yang awalnya salah, meluruskan apa yang awalnya bengkok. Tidak malah menimbulkan masalah-masalah baru.
Saya menilai orientasi feminisme dewasa ini sudah mulai tidak relevan dengan atmosfer kehidupan hari ini. Feminisme seperti apa jika para ibu-ibu rumah tangga lebih mendominasi di kehidupan berkeluarga masyarakat sampai ada narasi suami-suami takut istri, feminisme seperti apa jika di birokrasi kepemerintahan sudah tidak lagi membedakan dan membatasi antara lelaki dan perempuan, feminisme seperti apa jika para perempuan sudah mulai berani memimpin demo dan unjuk rasa lewat tragedi Kendeng dan Kulon Progo, dan tentu masih banyak lagi andil perempuan dalam sepak terjang kehidupan negeri ini. Mungkin itu adalah buah semangat gerakan feminisme masa lalu yang masih bisa dirasakan dan dilihat hari ini. Pada zaman dulu gerakan feminisme merupakan gerakan yang sangat urgent dibutuhkan dan ditunggu-tunggu, sampai muncul begitu banyak sub-sub feminisme seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme anarkis, feminisme sosialis atau marxis, ekofeminisme, dan feminisme post-modern.
Perlu saya tegaskan, sebenarnya pada adat dan budaya kita yang menuntut perempuan bisa menjadi tempat berteduh bagi lelaki, oase kasih sayang bagi anak-anak, dengan menjadikannya sebagai manusia yang serba bisa merupakan cita-cita yang mulia. Oleh sebab itu, tak jarang kita temui ucapan ibu kepada anaknya agar bisa menjadi perempuan yang bisa mencuci pakaiannya sendiri, gemar menjahit baju, cakap memasak, pandai bersolek dan matang pengetahuan adalah tuntutan yang menurut saya tidak bisa salahkan. Sebab di satu sisi perempuan akan senantiasa belajar dan secara tidak lansgung akan menjadikannya sebagai manusia yang kuat. Di sisi lain lelaki yang notabene sebagai pengayom dan penyemangat dalam berkeluarga dengan berdikari ataupun bekerja untuk istrinya. (saya tidak menyenggol wanita karir, hal itu sah-sah saja jika ada kesepakatan antara suami dan istri jika dalam teks berkeluarga).
Hal itu semua adalah budaya dan warisan ajaran dari para leluhur yang tidak elok dihilangkan. Oleh sebabnya, salah satu pahlawan perempuan yang dijuluki ‘Kartini dari Timur’, Opu Daeng Risadju, salah satu usahanya pada pemberdayaan perempuan dalam kemerdekaan adalah dengan membentuk perkumpulan perempuan yang dikenal “Wanita Partai Syarikat Islam Indonesia”. Pada perkumpulan ini, wanita digodok dalam berbagai ilmu pengetahuan dengan mengadakan kursus-kursus kewanitaan, semacam menjahit dan memasak. Tidak lupa, pada perkumpulan tersebut memberikan pendidikan agama dan soal-soal politik terutama kesadaran beragama serta bangsa dan tanah air. (Siti Maryam, dalam buku ‘Sejarah Nusantara yang Disembunyikan’). Nahasnya, cita-cita beliau sudah mulai dinafikan dengan semakin maraknya wanita-wanita korban taqlid buta dari gerakan feminisme.
Saya pernah mengikuti kelas dari salah seorang dosen perempuan, beliau adalah doktor linguistik sekaligus rupa-rupanya juga pegiat gerakan feminisme. Beliau berkata “Saya tidak pernah mau mencucikan baju suami saya, sepatu anak saya saja saya suruh cucikan suami saya. Saya masak untuk saya sendiri, tidak untuk suami saya. Kalau suami saya tidak suka, saya suruh dia beli sendiri.” Begitu menakutkan dan menyeramkannya jika kalimat ini kita jumpai di setiap mulut perempuan sekarang. Walau saya tidak begitu setuju, tapi saya cukup mengapresiasi karena beliau adalah seorang intelektual. Dan bagi saya, beliau telah mempertanggungjawabkan ucapannya dengan capaiannya sebagai seorang doktor, pejabat jurusan, dan pengajar aktif. Saya pikir suaminya akan paham dan sangat mengerti posisinya. Tapi jika kalimat tadi ditelan mentah-mentah para perempuan manja yang susah diatur dengan dalih feminisme apakah tidak berbahaya dan berpotensi menimbulkan disharmonisasi atau kesenjangan sosial? Jawabannya satu: iya, betul sekali.
Oleh sebab itu, saya pribadi sangat menyambut baik apa itu keadilan dan kebijaksanaan gender. Saya tidak akan berbicara masalah agama bahwa perempuan harus taat dan patuh pada lelaki karena saya tidak pada ranah displin keilmuan itu. Itu tugas kawan-kawan saya yang bergelut pada tafsir hadits dan al-quran. Dengan kedangkalan ilmu saya, saya takut akan ada “chaos perspective” apabila menafsiri dengan semena-mena.
Saya teringat suatu nasihat lama “Jika pada suatu bangsa, perempuan-perempuannya baik. Maka baiklah bangsa itu. Begitupun sebaliknya.” Menunjukkan betapa penting dan berharga posisi perempuan dalam kehidupan.
Saya ingin menitip satu pesan pada para lelaki, “Jangan pernah berniat untuk mempelajari seorang perempuan atau kau akan tersesat kebingungan. Pahamilah ia maka kau akan mencintainya. Sebab, perempuan adalah buku tebal yang tak akan pernah habis dibaca lelaki.”
Tabik!
Penulis: Rizal Kurniawan
Editor: Endah Prasetyo