Mengakrabi Realitas Antagonis: Ulasan Film “Hati Suhita”

Hati suhita merupakan film yang diadaptasi dari novel yang berjudul sama, Hati Suhita karya Khilma Anis. Film yang mulai tayang pada 25 Mei 2023 dan berdurasi 137 menit ini dibintangi oleh Nadya Arina sebagai Alina, Omar Daniel sebagai Gus Birru dan Anggika Bölsterli sebagai Ratna Rengganis. Tema mayor dari film ini ialah romansa. Film dengan latar belakang kehidupan pesantren di daerah Kediri, Jawa Timur ini mengisahkan tentang perjodohan antara Gus Birru –anak pemilik pesantren Al-Anwar– dan santriwati pesantren tersebut yang bernama Alina.

Perjodohan tersebut telah disepakati oleh orang tua mereka sejak mereka masih kecil dengan tujuan agar mereka dapat melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren kelak. Perjodohan seringkali berujung pada kegagalan, karena kadang kala yang dijodohkan tidak saling mencintai. Dalam film ini, diungkapkan bahwa Gus Birru sebelumnya telah jatuh cinta kepada Ratna Rengganis, seorang perempuan yang menjadi kekasihnya sejak mereka berkuliah. Ratna Rengganis bukanlah sosok perempuan biasa, ia merupakan seorang aktivis perempuan di kampus mereka dan sering terlibat dalam kegiatan bersama Gus Birru.

Sampai di sini apakah kalian mengira Ratna Rengganis adalah si antagonis?

Jika kalian mengira bahwa Rengganis akan menjadi antagonis lalu merusak rumah tangga Gus Birru dan Alina, maka kalian salah. Inilah salah satu hal yang menarik dari film ini. Tidak ada perselisihan, kebencian atau bahkan dendam diantara Alina dan Rengganis yang mencintai pria yang sama, yaitu Gus Birru.

Karakter perempuan yang digambarkan dalam film ini sangat apik dan memiliki takaran rasa sakit masing-masing. Tidak ada adegan dimana wanita berselisih paham atau bersaing untuk mendapatkan perhatian seorang laki-laki dalam cerita ini. Tidak ada karakter wanita yang memiliki rasa benci atau dendam satu sama lain. Menurut artikel Times Indonesia, penulis dari novel Hati Suhita, Khilma Anis, mengatakan bahwa “Tidak terdapat tokoh antagonis dalam film Hati Suhita, semua konflik muncul dari keadaan yang antagonis.”

Adegan favorit saya sejak awal film mulai ditayangkan, yaitu ketika adegan akad nikah Gus Birru dan Alina yang ditayangkan pada monitor. Hal tersebut kemudian disaksikan oleh Ratna Rengganis di luar Gus Birru melaksanakan akad nikah. Rengganis dengan baju bewarna merah kemudian berbalik arah, menangis dan berlari keluar diantara kerumunan tamu undangan berbaju putih. Adegan tersebut merupakan sebuah gambaran adegan yang sangat dramatis dan dapat memberikan dampak emosional yang kuat kepada para penonton.

Sekilas, film ini mungkin terdengar mainstream karena menceritakan tentang kisah cinta segitiga dengan latar belakang Islam dan pesantren yang nantinya berujung pada keikhlasan dan pengorbanan para tokohnya. Namun, bagi saya ada beberapa hal yang sebenarnya perlu menjadi pembahasan lebih lanjut dari film tersebut.

Jadi, lebih sakit siapa? Alina atau Rengganis?

Film yang baik adalah film yang mampu memancing diskusi setelah menontonnya. Banyak sekali pro dan kontra terkait dengan film ini. Hal itu bisa digambarkan melalui pengklasifikasian dua tim oleh penontonnya. Misalnya, film ini lantas melahirkan dua kubu antara tim Alina dan tim Rengganis. Saya adalah tim Rengganis. Ketika saya mendeklarasikan hal tersebut, banyak dari beberapa teman saya menyayangkannya. Mereka heran mengapa saya berada di tim Rengganis padahal posisinya adalah sebagai orang ketiga meskipun pengorbanannya lebih besar daripada Alina yang merupakan istri sah dari Gus Birru.

Menurut saya, Rengganis tidak mengganggu kehidupan rumah tangga Alina dan Gus Birru, maka dari itu saya dapat mengatakan bahwa Rengganis bukanlah orang ketiga. Bahkan sebelum Alina, Rengganislah yang bertahta di hati Gus Birru meskipun yang lebih dulu hadir di sekitar Gus Birru adalah Alina. Hanya saja, cinta diantara Gus Birru dan Rengganis yang telah terjalin dengan sedemikian rupa tanpa adanya keterpaksaan harus kandas sebab Gus Birru telah memiliki jodoh yang dipilihkan oleh kedua orang tuanya.

Jika saja scene Gus Birru dan Rengganis dimunculkan lebih detail lagi, mungkin rasa sakit yang dirasakan keduanya akan semakin sampai pada penonton. Namun sayang sekali, penceritaan dalam film kurang mendetail dan terlalu terburu-buru sehingga ada beberapa scene yang masih kurang feelnya. Menjadi Alina yang bertahan ketika suaminya masih mencintai masa lalunya memang sakit, tapi menjadi Rengganis yang cintanya terpaksa harus dihentikan juga tidak kalah menyakitkan. Menjadi Gus Birru juga serba salah karena berada diantara pilihan untuk mempertahankan cintanya atau mengabdi kepada kedua orang tua dan Tuhan-Nya.

Saya menulis ulasan ini dengan iringan lagu Ayat-Ayat Cinta dan Bulan Dikekang Malam yang menurut saya cocok untuk menggambarkan tentang film ini. Belajar ikhlas jauh lebih sulit daripada belajar mencintai dan dicintai. Jika Alina benar-benar mencintai dan bersedia menikah hanya karena tanggung jawabnya kepada orang tua dan Allah, maka apapun yang ia terima dari Gus Birru sebenarnya belum cukup sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan oleh Rengganis. Rengganis mampu melepaskan apa yang sudah ia genggam dan mampu berhenti meratapi rindunya.

Pesantren dan Kesetaraan

Pesantren, sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam di Indonesia, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dan budaya bangsa ini. Seiring dengan perkembangan zaman, peran pesantren tidak hanya terbatas pada pendidikan agama, tetapi juga bertransformasi menjadi pusat pembelajaran yang holistik, menggabungkan pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan umum. Satu isu yang masih menjadi tantangan dalam lingkungan pesantren adalah kesetaraan gender. Menariknya, film Hati Suhita membawa perspektif baru yang berhasil meruntuhkan anggapan umum atau stereotip dalam masyarakat luas bahwa pesantren secara inheren menganut sistem patriarki.

Dalam film Hati Suhita, terdapat banyak simbol kearifan tradisi pesantren yang digambarkan secara visual dan cerita keseharian. Salah satu contohnya adalah adegan di mana Abah dan Umik, orang tua dari Gus Birru, memberikan kepercayaan kepada Alina Suhita untuk menjadi kepala sekolah di pesantren. Penunjukan ini tidak hanya didasarkan pada hubungan keluarga sebagai menantu dan penerus, tetapi karena Alina Suhita telah membuktikan kualitas dan kemampuannya kepada Abah dan Umik. Dalam adegan tersebut, terlihat bahwa pesantren menganut nilai kesetaraan gender dengan memberikan kesempatan kepada Alina Suhita sebagai seorang perempuan untuk memegang posisi kepemimpinan yang penting di lembaga tersebut.

Simbol ini menggambarkan bahwa di pesantren, laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan memegang peran penting dalam memimpin. Ini menunjukkan sikap terbuka dan inklusifitas terhadap kesetaraan gender dalam konteks tradisi pesantren yang menghargai kemampuan individu tanpa memandang jenis kelamin. Visualisasi adegan tersebut dapat memberikan pesan yang kuat kepada penonton tentang pentingnya memberikan kesempatan yang setara bagi laki-laki dan perempuan dalam mengambil peran di lingkungan pesantren dan masyarakat secara umum.

Selain itu, Rengganis juga digambarkan sebagai perempuan yang cukup vocal dalam menyuarakan kesetaraan melalui tulisan-tulisannya.Rengganis juga merupakan seorang jurnalis. Dirinya tergabung dalam komunitas jurnalistik dan merupakan pimpinan redaksi dari komunitas tersebut. Rengganis dikenal sebagai sosok perempuan yang aktif dalam menulis. Dirinya juga merupakan aktivis kampus bersama Gus Birru yang secara konsisten berjuang untuk melawan penindasan dan memperjuangkan hak-hak yang terpinggirkan.

Ilustrasi: poster film Hati Suhita (Pinterest)

Editor: Fatmawati

Leave a Reply