Menikmati Bubur Penuh Gizi ‘Cantik itu Luka’

Judul                   : Cantik itu Luka

Penulis                : Eka Kurniawan

Desain sampul  : Orkha

Penerbit              : PT. Gramedia Pustaka Utama

Tahun                  : 2019

ISBN                      : 978-602-03-1258-3

Tebal                     : 505 halaman

 

Novel karya Eka Kurniawan ini mengisahkan sosok Dewi Ayu beserta orang-orang terdekatnya.  Mereka masing-masing memiliki konflik yang kompleks.  Alur ceritanya maju-mundur, sedikit tidak beraturan.  Rasanya tidak seperti novel, tetapi dunia baru di mana semua tokohnya memiliki silsilah dan asal-usul yang jelas bak cerita Mahabharata. Sehingga, sulit untuk menjelaskan runtutan ceritanya dari awal sampai akhir.  Dalam resensi kali ini penulis akan menjabarkan sedikit potongan cerita dalam novel untuk kemudian membedahnya.

Perjalanan Hidup Dewi Ayu

Dewi Ayu adalah wanita cantik dari pasangan incest kakak beradik.  Hidupnya tidak seindah kecantikan parasnya.  Dia ditinggalkan oleh orangtuanya ketika bayi.  Ditolak oleh seorang kakek yang dia cintai.  Hingga menjadi tawanan perang Jepang dan menjalani hidup sebagai pelacur sampai mati.  Meski begitu, Dewi Ayu tetaplah bunga segar yang tidak layu.  Badai datang silih berganti dan lebah bolak-balik menghisap madunya. Semua dinikmatinya.

Dewi Ayu awalnya hidup tenang bersama kakek-nenek dan para pembantunya. Kakek Dewi Ayu adalah seorang belanda yang merebut wanita pribumi untuk dijadikan gundik.  Nama gundik tersebut adalah Ma Iyang.  Setelah menjadi gundik, Ma Iyang harus berpisah dengan kekasihnya, yaitu Ma Gedik.  Sementara itu, Dewi Ayu yang mengetahui kakeknya telah merusak jalinan cinta antara Ma Iyang dan Ma Gedik puluhan tahun lalu, berpikir untuk menikahi Ma Gedik.  Tetapi nyatanya Ma Gedik menolaknya dan memilih untuk bunuh diri menyusul Ma Iyang yang telah “terbang” terlebih dahulu setelah persetubuhan pertama dan terakhir mereka di sebuah bukit.  Setelah kejadian itu, bukit tersebut dinamakan dengan Bukit Ma Iyang.

Kecintaan terhadap tanah Hindia membuat Dewi Ayu tidak mau ikut kakeknya pulang ke Belanda dan memilih tetap tinggal bersama para pembantunya. Ketika Jepang datang, dia diangkut menjadi tawanan.  Namun, sebelum berangkat, dia masih memikirkan para pembantunya dan memberikan harta-harta untuk bekal mereka hidup. Dia kemudian harus menjadi pelacur untuk tentara Jepang.  Setelahnya, dia tetap menjadi pelacur walaupun Jepang telah pergi.  Hal tersebut terpaksa dia lakukan karena hutangnya pada Mama Kalong, mucikarinya, untuk menebus rumahnya kembali.

Keempat Anak Dewi Ayu

Dewi Ayu memiliki empat anak. Tiga yang pertama—hasil dia melacur—adalah wanita berparas cantik, tetapi bernasib buruk.. Anak keempatnya malah lebih parah lagi.  Berparas buruk, bernasib buruk juga.

Anak pertama Dewi Ayu bernama Alamanda.  Wajahnya cantik.  Dia berambisi untuk membuat patah hati setiap lelaki, dengan cara menolak cinta mereka setelah menggodanya. Namun, akhirnya dia jatuh cinta dengan Kliwon, orang yang kelak menjadi pemimpin Partai Komunis di Halimunda.  Sayang, kisah cintanya dengan Kliwon tidak berjalan indah karena dia terpaksa menikahi lelaki lain yang telah memerkosanya. Lelaki itu bernama Shodanco, seorang veteran gerilyawan Indonesia.

Alamanda yang terpaksa menikahi Shodanco menjalani kehidupan penuh penderitaan.  Pernikahan mereka kemudian membuahkan seorang gadis bernama Nurul Aini (Ai), yang kelak mati karena menangisi hilangnya Rengganis, putri dari Maya Dewi.

Anak kedua Dewi Ayu bernama Adinda.  Sifatnya berkebalikan dengan kakaknya.  Dia adalah seorang yang “manis” dan pendiam. Sejak awal dia curiga kakaknya ingin mempermainkan Kliwon—karena dia mencintai Kliwon juga sehingga tidak rela jika Kliwon dipermainkan. Pada akhirnya Adinda menikah juga dengan Kliwon setelah Kliwon tidak jadi dieksekusi mati karena ke-komunis-annya. Dari pernikahan mereka, lahirlah seorang putra bernama Krisan, yang kelak menjadi penyebab kehancuran semua keluarganya.

Maya Dewi adalah nama anak ketiga Dewi Ayu. Dia juga anak yang cantik, baik, rajin, dan pendiam. Dia dinikahkan dengan Maman Gendeng―seorang preman penguasa terminal―pada usia belia. Mereka kemudian memiliki anak bernama Rengganis Si Cantik, yang kelak mati dibunuh oleh Krisan. Rengganis Si Cantik juga memiliki anak yang mati ketika dia membawanya kabur, di hari ketiga setelah dilahirkan. Anak ini adalah hasil pemerkosaan oleh Krisan di toilet sekolah, yang oleh Rengganis diakui sebagai “anjing”.

Anak keempat Dewi Ayu bernama Cantik. Tidak seperti namanya, dia adalah seorang wanita buruk rupa. Hidupnya selalu tersiksa karena tidak pernah keluar dari rumah kecuali malam hari. Sebab, jika keluar rumah siang hari, orang-orang akan takut terhadap ke-buruk-rupa-annya. Walaupun tidak pernah keluar rumah dan tidak bersekolah, Cantik bisa menguasai apapun.  Dia diajari oleh roh jahat Ma Gedik yang datang setiap hari.  Melalui roh jahat Ma Gedik, dia juga mendapatkan “pangerannya”, yaitu Krisan.

Krisan dihasut oleh roh jahat Ma Gedik untuk mencari pasangan buruk rupa. Sebab, cantik itu luka—sebagaiamana dua wanita cantik yang dia temui sebelumnya: Ai yang dia cintai tapi tidak mencintainya, dan Rengganis yang tidak dia cintai tetapi mencintainya. Melalui hubungan haramnya dengan Krisan, Cantik hamil dan melahirkan anaknya prematur pada bulan keenam.  Sayang, anaknya lahir tanpa tangisan alias tidak bernyawa.

 

Membedah Cerita Dalam Novel

Membaca novel ini mengingatkan saya terhadap karya-karya Pramoedya Ananta Toer (Pram). Adegan-adegan Shodanco saat melakukan gerilya dan kehidupan gembel yang ditempuh oleh Kamerad Salim, sangat mirip dengan pemberontakan dan penyamaran Den Hardo dalam Perburuan-nya Pram. Sehingga, julukan The Next Pram yang diberikan oleh Benedict Anderson kepada Eka Kurniawan tidak patut kita sangkal. Terutama soal kepiawaiannya meracik adegan yang membuat pembaca seolah ikut masuk ke zaman tersebut.

Eka Kurniawan benar-benar membuat kita “gila” ketika masuk ke dalam dunia Cantik Itu Luka: kebanjiran dopamin, tekanan batin, sampai gairah membara untuk revolusi. Ya, nampaknya Eka, yang tiga tahun lalu mendapat anugerah Prince Claus Award melalui novel ini, menuangkan hampir segala apa yang diketahui untuk merangkai alur yang njelimet tetapi enak untuk dinikmati.

Kolonialisme dan Imperialisme, adalah latar waktu dan suasana novel ini. Kehidupan pada masa itu sungguh membuat sesak dada. Pribumi harus menjadi babu di rumahnya sendiri. Babu yang harus mematuhi segala perintah penjajahnya selaku majikan. Namun, kekejian kolonialisme dan  imperialisme tersebut disuguhkan bebarengan dengan kebaikannya(?). Dewi Ayu misalnya, hidup rukun dan adil dengan para pembantunya yang notabene adalah pribumi. Lagi, Panglima Jepang yang menghentikan pelacuran oleh tentaranya setelah membaca surat kiriman Dewi Ayu dan teman-temannya melalui merpati pos.  Akhirnya, di setiap kehidupan pastilah terdapat dualisme: senang-susah, menang-kalah, dan dualisme yang lain. Tidak ada dunia sempurna seperti dalam Utopia-nya More.

Membaca novel ini juga seharusnya membuat kita tidak nggumun ketika bertemu orang asing. Apalagi heran dan terpesona jika ada tetangga menikah dengan orang asing. Sebab, hal itu sudah lumrah terjadi melalui pergundikan. Ma Iyang, nenek Dewi Ayu yang seorang pribumi, adalah potret pergundikan masa kolonial.  Dia dipaksa berhubungan badan dengan orang kolonial untuk memenuhi nafsu mereka.  Nasib para gundik memang tidak tentu: ada yang dibuang begitu punya anak, dikekang dalam rumah, atau dicintai oleh tuannya kalau beruntung. Namun, pergundikan adalah sesuatu yang keji.

Membahas Ma Iyang, tentu kita tidak bisa lepas dari kisah cintanya dengan Ma Gedik. Ya, Ma Gedik adalah potret pencinta sejati. Eka Kurniawan nampaknya menggambarkan cinta juga dari dua sisi: madzhab Freud (red. Sigmund Freud) dan madzhab Fromm (red. Erich Fromm)—guru dan murid yang bertolak belakang soal esensi cinta.

Freud mengatakan cinta adalah seks.   Dalam cerita, dapat kita saksikan sesaat sebelum Ma Iyang “terbang” dari puncak bukit dan tidak pernah kembali―sebuah bentuk pelampiasan cinta melalui seks. Namun, Fromm—yang telah terpengaruh oleh kebudayaan Timur, salah satunya Jalaluddin Rumi―melihat cinta dan seks adalah dua hal yang sangat berbeda.   Tidak ada hubungannya sama sekali.  Baginya, cinta adalah memberi. Madzhab cinta Fromm ini bisa kita lihat ketika Alamanda dan Kamerad Kliwon yang berdua di kapal dalam keadaan telanjang, ternyata tidak mau saling menyetubuhi. Padahal mereka saling mencintai. Namun, nampaknya Eka lebih menonjolkan madzhab Fromm melalui adegan-adegan di pelacuran dan pemerkosaan.

Membaca Cantik itu Luka juga memberi suatu pencerahan, minimal mengobati fobia kita terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), melalui adegan-adegan yang dijalani oleh Kamerad Kliwon. Selama ini, di sekolah, kita hanya diajari bahwa PKI adalah penjahat yang melakukan pembunuhan dan pemberontakan, tanpa diberitahu apa sebenarnya Komunis itu dan bagaimana konsep pemikiran dan arah pergerakannya.

Eka, melalui Kamerad Kliwon, menjelaskan dengan baik perumpamaan peristiwa yang melibatkan Partai Komunis melalui konflik antara kapal Sodancho dan para nelayan. Menanggapi kapal besar Sodancho yang mengeksploitasi ikan di perairan dangkal, Kamerad Kliwon―pemimpin Partai Komunis―membentuk Serikat Nelayan. Serikat tersebut kemudian digunakan sebagai jalur penyelesaian masalah.  Mulanya melalui jalan advokasi dan diskusi antara para nelayan dan pemilik kapal besar Sodancho. Namun, tindakan tersebut tidak digubris oleh Sodancho. Tindakan anarkis pun dilakukan dengan pembakaran kapal-kapal milik Sodancho oleh nelayan.  Kamerad Kliwon dan Serikat Nelayan mewakili kelas Proletar dan Sodancho mewakili kelas Borjuis.

Jika sejarah menjelaskan dengan rinci sebab-musabab suatu peristiwa―seperti kejadian sarikat nelayan dan kapal Shodanco―maka tidak akan terjadi kesalahpahaman. Namun, apa boleh buat, sebagaimana sering kita dengar, bahwa “sejarah adalah miliki pemenang.” Begitulah pemerintahan Orde Baru membelokkan sejarah. Dan Eka Kurniawan, melalui novel ini, berusaha memberikan obat kepada para pengidap fobia tersebut melalui runtutan kejadian yang difiksikan.

Akhir Kata

Banyak bahasa yang vulgar serta adegan-adegan erotis muncul dalam novel ini. Sehingga, tidak semua kalangan dapat menikmatinya. Sangat disayangkan novel sebagus ini tidak bisa dibaca oleh semua kalangan karena berlabel Novel 20+ (hanya untuk kalangan usia 20 tahun ke atas).

Cantik itu Luka telah berhasil meracik hidangan nikmat bagi para pemburu intelektualitas: feminisme, cinta, kolonialisme-imperialisme, komunisme-kapitalisme, satir, dan banyak bahan lainnya. Untuk mengupas dan membahas itu semua, perlu pemikiran dan pembahasan yang panjang. Tulisan ini hanyalah pengantar saja agar Anda tertarik untuk masuk dan hidup di dunia Cantik itu Luka.

Selamat membaca—dan hidup di Cantik itu Luka.

 

Penulis: Rizqi Hasan (Magang)

Editor: Bagus K.

Leave a Reply