Tegalboto – Kamis, 2 November 2017 Universitas Jember mengadakan pemilu raya. 13.33 WIB saya sudah ada di Pendopo Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UJ. Lima komputer yang ada berjejer itu tidak ada yang menggunakan. Berbeda ketika pukul 8.27 pagi tadi di FKIP. Sudah ada orang bergerombol mengantre di depan pintu dan duduk di ruang tunggu. Di tangga pendopo terlihat beberapa orang yang sedang duduk. Pada waktu itu baru 112 peserta yang memilih dari 1775 daftar pemilih tetap. Elisa, yang menjadi saksi mengatakan bahwa di FIB sepi pemilih, berbeda dengan fakultas lain. Ia tidak tahu alasannya mengapa sepi pemilih, karena ia bukan mahasiswa FIB.
Menurut Setya Hanafi (pemilih) , sepinya pemilih dikarenakan kurangnya sosialisasi. Sosialisasi hanya di KAUJE tidak di setiap fakultas. Menurutnya pula, tidak berbicara secara langsung juga berpengaruh dalam pemilu, walau sudah ada banner besar yang dipasang.
Beberapa menit kemudian datanglah beberapa orang yang akan menggunakan hak suaranya. Salah satunya Rahmadiatus Infa, mahasiswi prodi Ilmu Sejarah angkatan 2016. “Ini wadah yang bagus untuk mahasiswa,” jawabnya ketika ditanya bagaimana pendapatnya tentang pemilu ini. Karena menurutnya mahasiswa bisa mempraktikkan apa yang ada di buku-buku, mahasiswa bisa menjadi panitia, peserta, KPUM, PANWASLU, dll.
Berbeda dengan Ismiatus Sholihah, Alifa dan Rosie yang saat itu tengah duduk-duduk di depan ruang kelas mengatakan baru tahu jika hari ini ada pemilu. Mereka tidak tahu siapa kandidatnya dan bagaimana visi misinya. “gak usah milih ae soale ndek sini kan ormawanya ndak nyepakatin BEM dan BPM itu,” tambah Ismiatus. Info tersebut didapatkannya dari kakak tingkat di fakultasnya.
“Nggak penting,” ucapnya ketika ditanya pendapatnya mengenai BEM. Ia adalah Risa (nama samaran) dari prodi ilmu sejarah. Ia adalah salah satu mahasiswa yang menolak adanya BEM di UJ. Menurutnya tidak ada untungnya BEM bagi UKM, karena mereka sama-sama mahasiswa, apalagi di dalamnya terdapat ‘bendera’ yang memiliki masa.
“Harapannya ya BEM ini ndak jadi. Karena Unej sangat memaksa untuk mempunyai BEM,” tambahnya.
Sejak 2011, FIB tidak memiliki BEM namun memiliki Aliansi. Aliansi tersebut terdiri dari 10 UKM dan HMJ di FIB. Aliansi ini menggunakan asas musyawarah mufakat. Segala macam keluhan di FIB di selesaikan secara musyawarah mufakat. “FIB semuanya menolak (red BEM),” kata M. Riza Imaduddin dari Swapenka. Sebelum ada keputusan tersebut, anggota aliansi berkumpul dan berdiskusi dan hasilnya adalah semua UKM dan HMJ menolak BEM. Hal tersebut karena kejadian beberapa tahun yang lalu yaitu BEM FIB ditunggangi oleh organisasi ekstra kampus.
Ketika terjadi pencalonan BPM oleh mahasiswa Fakultas Sastra, aliansi bergerak dengan memanggil calon BPM tersebut, dan ngobrol bersama. Salah satu calon BPM mengundurkan diri ditemani Aliansi, namun ada satunya tidak.
“Nggak masalah enek BEM lek di dalamnya bener-bener bagus,” kata M. Fikri, ketua Dewan Kesenian Kampus (DKK) yang juga merupakan anggota Aliansi. Menurutnya BEM di UJ ingin menguasai mahasiswa karena memiliki ‘bendera’. Berbeda dengan universitas lain yang sangat mendukung ORMAWA, jika ada permasalahan dengan kebijakan rektorat, BEM mengkomandoi demo, seperti di UGM. Selain itu undang-undang yang telah dibuat itu ada kerancuan. Dahulunya setiap fakultas harus memiliki BEM dan BPM, kini berubah tidak harus ada BEM dan BPM.
Sementara itu, Imroatul Sholekah mahasiswa yang mencalonkan diri menjadi BPM saat ditemui mengatakan niatnya ingin memajukan UKM yang ada di FIB. Selain itu ia ingin berorganisasi di luar fakultas. Kebetulan ada pencalonan BPM dan ia juga sudah memenuhi administrasi, dan akhirnya mencalonkan diri.
“Niat saya baik dan itu akan saya buktikan satu tahun kedepan,” tambahnya.[]