Tegalboto – ‘Indonesia darurat kebebasan berekspresi’ sebuah kalimat yang mencerminkan bagaimana kebebasan berekspresi di Indonesia saat ini begitu miris. Lagi-lagi terjadi pembredelan terhadap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) oleh pihak rektorat, kali ini giliran LPM Suara USU, Universitas Sumatera Utara. Pembredelan LPM Suara USU disebabkan oleh terbitnya cerpen Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya di website suarausu.co pada Selasa (12/03). Runtung selaku Rektor USU menilai cerpen yang ditulis oleh Yael Stefani Sinaga bermuatan unsur pornografi dan mendukung Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
“Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu,”
“…Apa yang salah? Bedanya aku tidak menyukai laki-laki tapi aku menyukai perempuan walau diriku sebenarnya juga perempuan.”
Ini merupakan penggalan cerpen Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya yang dipermasalahkan oleh Runtung karena dianggap terlalu vulgar dan mendukung kelompok LGBT. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang menganggap bahwa seksualitas masih tabu untuk disentuh dan dibicarakan. Tafsir Runtung terhadap cerpen tersebut hanya tuduhan semata tanpa adanya analisa dan kajian akademis yang mendukung.
Tindakan yang diambil oleh Runtung terhadap LPM Suara USU yang tidak bersedia menarik cerpen tersebut ialah mensuspensi website suarausu.co pada Rabu (20/03), tetapi suarausu.co telah diperbaiki oleh awak LPM Suara USU dan dapat diakses kembali pada Sabtu (23/03).
Tidak berhenti sampai di sini, setelah website suarausu.co disuspensi oleh pihak rektorat, kali ini LPM Suara USU tidak mendapat akses untuk liputan di rektorat. Dilansir dari persma.org, Widya Hastuti selaku Pemimpin Redaksi LPM Suara USU mengatakan bahwa salah satu reporter ditolak oleh pihak rektorat saat melakukan liputan. Hal ini dikarenakan LPM Suara USU dianggap sudah bubar.
Selasa (26/03) Runtung memberhentikan seluruh awak LPM Suara USU. Pemberhentian ini dikarenakan semua anggota sepakat tidak ada kesalahan yang ada pada cerpen Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya. Rektor USU memutuskan untuk mencabut Surat Kepengurusan LPM Suara USU 2019 dan melakukan rekrutmen kembali untuk mengisi kekosongan yang akan ditangani oleh Koordinator UKM Bidang Jurnalistik.
Widya Hastuti, Pemimpin Redaksi LPM Suara USU mengatakan bahwa LPM Suara USU menolak menurunkan cerpen tersebut karena cerpen tersebut telah dikaji baik dari segi sastra, jurnalistik, maupun kelayakan dimuat di media. Yael Stefani Sinaga, penulis cerpen tersebut, dilansir dari tempo.co mengatakan bahwa cerpen tersebut tidak bermaksud pro LGBT, tetapi lebih ke arah persekusi terhadap kaum minoritas, bagaimana melawan diskriminasi yang terjadi terhadap kaum minoritas dan LGBT diambil sebagai contoh.
Kesewenangan Runtung terhadap LPM Suara USU menunjukkan bahwa kampus sebagai ruang berpikir kritis telah diberangus. Yang diinginkan kampus hanyalah bagaimana membuat mahasiswanya dapat berprestasi dan mengharumkan nama kampusnya. Bahkan tak sedikit kampus yang ingin pers mahasiswanya menjadi humas, memberitakan kampus yang baik-baiknya saja.
Dengan adanya kasus ini, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) akan mengawal secara penuh dan mengadvokasi baik untuk menyelesaikan kasus ini maupun memastikan kebebasan berpendapat LPM Suara USU. PPMI Nasional juga mengajak seluruh pers mahasiswa Indonesia dan seluruh elemen masyarakat untuk melawan kesewenangan rektor terhadap LPM Suara USU.[]
Penulis: Endah Prasetyo
Editor: Endah Prasetyo