Reputasi dan Kebebasan Berekspresi: Untuk POROS dan Medianya yang Tak Boleh Mati

Tegalboto – Setelah kasus Lentera, pembredelan terhadap media mahasiswa terjadi lagi. Beberapa hari yang lalu, buletin magang POROS, media Pers Mahasiswa UAD (Universitas Achmad Dahlan) dibredel oleh pihak kampus. Mereka dianggap sudah ‘keterlaluan’ dalam pemberitaan, khususnya terkait dengan isu pendirian fakultas kedokteran di UAD. Kampus dianggap masih belum memberikan pelayanan yang maksimal namun sudah beralih pada pembangunan fakultas baru.

Kasus semakin melebar hingga aktivitas POROS dibekukan bahkan saat SK belum diturunkan. Sebagai sesama saudara Pers Mahasiswa, yang pernah ngopi bersama, saya sangat kecewa dengan pembredelan tersebut. Beberapa bulan lalu, saya dan beberapa kawan Tegalboto lainnya sempat berkunjung ke Kampus UAD. Cukup aneh mata kami menyaksikan parkiran yang merebak hingga pemukiman warga dan dipungut biaya. Jalanan cukup sesak. Kantin juga masih terbatas. Sedikitnya waktu saat mengurus proses penerbitan media kami kala itu sampai tak sempat mengamati bagaimana kondisi kelas yang ada disana. Namun kami sempat mampir ke ruang redaksi POROS dan bertemu dengan para anggotanya yang selalu menawarkan kebaikan hatinya.

Membaca kronologi pembredelan media POROS, mengingatkan saya pada kondisi parkir di UAD saat berkunjung ke Yogya beberapa minggu yang lalu. Bagaimana mungkin di kampus yang berada di Kota yang sering menjadi tujuan wisata masih terdapat manajemen parkir yang seperti itu? Hingga melanjutkan sarapan di kantinnya yang hampir semua pengunjungnya laki-laki, pertanyaan saya tadi masih membekas sampai sekarang.

Terlepas dari parkir, pernyataan dari pihak kampus bahwa POROS selama ini tidak memberi manfaat dan menganggap pola pikir awak medianya perlu diluruskan menimbulkan pertanyaan baru. Manfaat bagi UAD atau manfaat bagi pihak tertentu saja? Lalu posisi mahasiswa berada dimana? Manfaat yang mereka harapkan hanya berdasar pada reputasi, segudang prestasi tanpa cela disana-sini. Pemikiran kritis tak terlalu dibutuhkan lagi. Mahasiswa harus tunduk mengharumkan nama kampus meski badannya kurus tak terurus.

Berdasarkan isi dari buletin yang telah dipublikasikan secara online, tulisan di dalamnya juga berdasarkan fakta dan wawancara tidak mengandung pelanggaran SARA, fitnah atau hal yang merugikan lainnya. Bukti rekaman terkait hasil wawancara juga sudah mereka miliki untuk membuktikan akan kebenaran dari apa yang mereka tuliskan. Namun alasan yang tidak jelas dari pihak kampus mematahkan segala maksud mereka untuk mengetahui letak kesalahannya.

Tindakan ini cukup menjawab pertanyaan mengapa sebuah universitas sulit mengalami perkembangan untuk menjadi lebih baik. Mereka terlalu menutup diri terhadap masukan dan kritikan, namun terlalu mengidamkan pujian. Suara-suara yang harusnya bisa membantu mereka untuk memperbaiki diri justri dihakimi dan ditindak sekeras ini.

Orang-orang makin sibuk memperbaiki citra diri. Gedung-gedung dibangun tinggi, dan gelar-gelar makin melambungkan nama para akademisi. Namun kebebasan dalam berekspresi makin mahal disini. Mengungkap suatu fakta dianggap mencela, memberitakan apa yang sebenarnya terjadi dianggap cari sensasi. Teruntuk teman-teman Persma POROS UAD, semoga gerakmu bisa kembali berputar dan suaramu bisa kembali didengar.[]

Leave a Reply