Jember, tbpers.com – Apa yang terjadi jika suatu perang dipimpin oleh perempuan? Atau barangkali kita sempat memikirkan, mungkin sekadar terbersit, bagaimana jika perempuan memimpin?
Sampai saat ini, eksistensi kepemimpinan perempuan masih terus diperjuangkan. Perjuangan tersebut tidak hanya dinamis pada salah satu sektor. Namun, banyak sektor terus dicoba untuk digalakkan eksistensinya. Melalui pendidikan, politik, hingga sosial budaya. Perjuangan ini telah dilakukan sejak zaman dahulu. Perjuangan perempuan ini semacam tidak lekang oleh waktu, mulai dari era kerajaan, kolonial, orde baru, reformasi, dan hingga kini.
Sebagai pembuka paragraf ini kata yang disertakan adalah kata perang. Barangkali jika menyebut kata tersebut, bisa diidentikkan dengan masa kerajaan atau era kolonialisme. Agar lebih mengerucut pembahasan ini akan membahas perang pada era kolonialisme.

Sayu Wiwit namanya. Perempuan yang menginisiasi dan menghimpun masyarakat untuk berlatih perang di kaki Gunung Raung. Nama perempuan tersebut kemudian dijadikan tajuk dalam sebuah pementasan Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) oleh Dewan Kesenian Kampus (DKK) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB Unej). Sayu Wiwit adalah tokoh perempuan dari Kabupaten Banyuwangi. Ia merupakan sosok perempuan yang ikut berperang pada abad ke-16 saat Belanda menjajah Blambangan.
Sayu Wiwit tentu memiliki peran penting dalam pertempuran Bayu Puputan. Ia merupakan seorang Senopati yang harus memimpin ribuan pasukannya untuk mengalahkan bangsa kolonial.
Momen epic di pertunjukan ini pada saat perang yang di menangkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Jagalara dan Sayu Wiwit sebagai senopatinya, Sayu Wiwit diangkat oleh para pasukannya untuk mengisyaratkan bahwa mereka telah menang.
Pertunjukan Sayu Wiwit yang diiringi dengan alunan musik pun melenggang di gedung Soetardjo selama kurang lebih 30 menit. Sorak penonton juga kian menggema dan dengan rapih memperhatikan sejak awal hingga sesi apresiasi.
Sayu Wiwit dipilih dalam pertunjukan kali ini, karena ingin menampilkan kesenian yang sangat kental dengan nuansa tradisional. Tim kreatif kemudian mencoba memilih daerah Banyuwangi untuk dieksplor hingga akhirnya terpilih tema Sayu Wiwit ini. Dengan basis antusiasme Dewan Kesenian Kampus terhadap kearifan lokal menjadi salah satu alasan dalam hal pemilihan tajuk dan kisah yang hendak dipentaskan.
“Sayu Wiwit menarik karena tak hanyak menceritakan perjuangan tapi juga menceritakan tentang Banyuwangi, Sayu Wiwit jarang di perbincangkan. Oleh karena itu kami sendiri mengangkat cerita ini agar kita bisa membuka mata banyak orang bahwa ada sebuah kisah menarik di Banyuwangi yaitu kisah dari Sayu Wiwit ini. Karena semangatnya bisa menjadi inspirasi bagi para wanita”. Ucap dari salah satu tim produksi.

Selama proses pra-produksi pemilihan tema yang diangkat pun juga telah melalui proses yang panjang. Tim kreatif DKK pun tidak sembarang untuk mengangkat sebuah cerita. Perlu dilakukan riset untuk benar-benar mematangkan semuanya, agar penonton bisa terkesan oleh ceritanya dan seakan-akan para penonton melihat cerita aslinya. Riset yang dilakukan yaitu mencari berdasarkan sumber, kemudian wawancara kepada narasumber, kemudian mencoba untuk dinarasikan dalam sebuah naskah pementasan.
Salah satu tim kreatif pertunjukan ini juga menyatakan bahwa tidak berfikiran jauh untuk kemudian menyampaikan idealisme tertentu. Dalam pemilihan topik ini hanya sekadar berimajinasi terkait dengan tokoh tersebut. Dan membayangkan bagaimana jika seorang perempuan memimpin perang.
“Tidak pernah berfikir untuk menyampaikan yg berhubungan dengan idealisme. hanya muncul dari hal sederhana yang ada di kepala kami berimajinasi (kalau misal cewek yg mimpin perang gimana sih) lalu itulah yang menjadikan DKK mengangkat tema ini”. Tanggapan dari salah satu tim saat sesi apresiasi.
Penonton merasa terkesan atas tingkah heroik yang ditampilkan dalam Sayu Wiwit ini. Namun ada juga yg kurang puas karena kursi yang sejajar membuat penonton merasa kurang leluasa dan tidak dapat menikmati pertunjukan dengan nyaman.
Penulis: Dewi Safitri
Fotografer: Haqikoh Ukhrowiyah
Editor: Fatmawati