Tegalboto – Terdapt satu guru besar dan dua dosen dari tiga universitas ternama di Indonesia turut menjadi pembicara dalam ajang seminar nasional yang merupakan salah satu kegiatan puncak dalam rangkaian Bulan Bahasa 2019 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember.
Agenda tahunan bulan bahasa yang seyogyanya jamak dilakukan pada bulan Oktober, terpaksa diundur karena adanya kegiatan akreditasi dan akhirnya baru bisa dilaksanakan pada bulan November. Bulan bahasa tahun ini mengambil tema Bahasa Untuk Perkembangan Bangsa dengan pembicara antara lain Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M. Hum dosen dan guru besar Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Indonesia, Dr. Purnawan Basundoro, M. Hum dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, dan Dr. Cahyaningrum Dewojati, M. Hum dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada yang sekaligus meluncurkan dua bukunya seusai acara di tempat yang sama, serta Dr. Eko Suwargono, M. Hum dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember sebagai moderator.
Bahasa merupakan simbol kebudayaan dan kemajuan bangsa karena bahasa merupakan media komunikasi dari sebuah bangsa. Seperti yang kita ketahui, Bahasa Indonesia merupakan salah satu dari 10 bahasa terbesar di dunia dengan lebih dari 300 juta penutur. Untuk itulah, Bahasa Indonesia mempunyai peluang besar untuk menjadi sebuah bahasa internasional. Gagasan inilah yang berusaha disampaikan oleh pembicara pada seminar yang berlangsung pada Senin (18/11).
Bahasa, budaya, dan bangsa merupakan satu kesatuan yang utuh. Bahasa merupakan simbol kemajuan kebudayaan bangsa dikarenakan bahasa merupakan alat komunikasi yang mana salah satunya berfungsi sebagai alat transfer ilmu pengetahuan. “Contoh konkret kita bisa lihat Candi Borobudur yang megah itu, dibangun pada abad ke 7 oleh Wangsa Syailendra yang Berbahasa Sansekerta, darimana mereka tahu cara membuat candi? Ya dari ilmu pengetahuan, dari kitab, kitab berbahasa Sansekerta dari India” papar Dr. Purnawan Basundoro. “Bahasa Indonesia jelas memiliki peluang yang sama, dan ini sudah terjadi sekarang ketika teknologi dari luar menggunakan Bahasa Indonesia” lanjutnya.
Sementara itu, Bahasa Melayu sebagai akar Bahasa Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Bahasa Melayu yang merupakan rumpun Bahasa Austronesia telah secara luas digunakan mulai dari Madagaskar dan kawasan Pantai Afrika hingga negara kepulauan samudra pasifik hingga New Zealand sebagai lingua franca untuk kegiatan perdagangan. Bahkan hingga kini daerah daerah tersebut memiliki kosakata yang hampir mirip satu sama lain denga Bahasa Melayu. Penyebaran Bahasa Melayu yang begitu luas dikarenakan nenek moyang kita yang merupakan bangsa pelaut. “Darimana asal nenek moyang kita? Itu pertanyaan salah, karena nenek moyang kita bukan darimana, tapi nenek moyang kitalah yang kemana mana” tutur Prof. Dr. Susanto Zuhdi. “Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebenarnya sama yaitu Bahasa Melayu, hanya saja karena politik kolonial, akhirnya kita terpecah belah karena politik kolonial” lanjutnya.
Perkembangan zaman dan pergantian generasi membuat Bahasa Indonesia juga ikut berkembang. Hal ini terlihat jelas adanya karya sastra ataupun lagu yang meggunakan Bahasa Indonesia yang bernuansa populer. Istilah-istilah baru seperti kuy, gabut, mager, tubir, nyinyir sekarang jamak digunakan dalam karya sastra pop atau beberapa mengistilahkannya sebagai teenlit. Dr. Cahyaningrum Dewojati, M. Hum menerangkan bahwa hal tersebut bukanlah sebagai bukti rusaknya bahasa. Beliau menegaskan apabila sebuah bahasa tidak memiliki batasan antara ‘rusak’ dan ‘baik’ ataupun ‘tinggi’ dan ‘rendah’. “Ini siapa yang menentukan?! Gak ada, karya sastra bakalan garing mbak, mas, kalau pakai aturan baku seperti itu, gak papalah kalau lagu, karya sastra, memakai bahasa campuran” ujar Dr. Cahyaningrum Dewojati, M. Hum.
Jika ditilik lebih jauh dari sisi fungsi, sejarah, perkembangan, dan jumlah pengguna, tak ayal jika Bahasa Indonesia pantas didaulat sebagai bahasa internasional di masa yang akan mendatang. UKBI (Uji Kemahiran Bahasa Indonesia) sekarag sudah ada di UI dan UGM, semoga saja kita bisa seperti Jepang yang tidak harus menggunakan TOEFL untuk kuliah disana. tambah. Dr. Cahyaningrum Dewojati, M. Hum yang hari ini juga meluncurkan 2 bukunya sebagai penutup seminar.[]
Penulis: Anik Susanti
Editor: Endah Prasetyo