Foto ini mungkin terlihat biasa saja dengan sekumpulan mahasiswa dari berbagai organisasi tampak menyatu dalam lautan hitam memenuhi halaman kantor polisi, seolah menyuarakan satu tekad yang sama, yaitu melawan ketidakadilan yang kerap ditutup dengan senyum palsu.
Ketidakadilan itu muncul ketika instansi masyarakat yang seharusnya bertugas melindungi masyarakat, justru menjadi jagal masyarakat seperti driver ojol yang tewas di bawah roda rantis tempur Brimob yang dibeli dari pajak rakyat. Para mahasiswa berdiri rapat dengan memperlihatkan wajah perlawanan generasi yang tidak takut menantang brikade aparat. Aksi ini tak sekadar menampilkan barisan massa berbalut hitam, tetapi juga menjadi simbol perlawanan generasi (rata-rata gen-Z) terhadap aparat dan institusi negara yang kerap abai pada jeritan rakyat kecil.
Foto yang terfokus pada barisan penjaga negara yaitu kepolisian, menjelma seperti panggung teater absurd, di mana ratusan aparat berjajar rapat dengan wajah tegang dan seragam rapi seakan sedang menjaga negara dari ancaman besar, padahal yang berdiri di depan mereka hanyalah mahasiswa dengan suara dan poster tanpa senjata api laras panjang. Sebuah ironi terbesar terlihat jelas, polisi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru tampil layaknya tembok besi yang membatasi rakyat dengan keadilan. Slogan yang mereka gaungkan “Siap Melayani Anda” di dinding belakan (foto sebelumnya), berubah jadi lelucon pahit, sebab yang lebih nyata adalah siap menggertak, siap menakuti, dan siap menutup telinga dari jeritan suara mahasiswa.
Bila polisi benar-benar sahabat rakyat, lantas mengapa mereka tidak juga di barisan rakyat untuk menghukum para penyeleweng negara? Apakah mereka bungkam karena patuh terhadap komando pemimpin? Lebih lucunya lagi peristiwa yang terjadi kemarin, rakyat kecil yang tergilas rantis polisi, tapi aparat tetap tegak berdiri dengan bangga, dengan hukuman dicopot jabatan doang sih!! Seolah yang jatuh itu hanyalah nematoda, bukan nyawa manusia.
Dalam komposisi kedua foto ini, menurut penulis terapat kontras visual yang begitu terlihat. Di satu sisi, lautan mahasiswa yang saling berdesakan, membentuk tekstur massa yang organik dan hidup, di sisi lain, barisan polisi berjajar rapi tampak seperti pola geometris kaku yang kehilangan jiwa. Penulis menafsirkan dari sudut pandang estetik, pertemuan dua elemen ini menghadirkan semacam simetri ironis, rakyat yang diwakilkan oleh mahasiswa dengan suasana tampak cair dan penuh dinamika, berhadapan dengan aparat yang statis, dingin, dan seragam. Namun, di titik ini tampak bahwa aparat yang katanya pelindung masyarakat justru lebih mirip properti seni jalanan, hanya bisa berdiri tegak menjadi ornamen kekuasaan.
Penulis:
Penyuting: