Menyelisik Fenomena Hoaks dan Post-Truth dalam Kontestasi Politik Indonesia

Tegalboto – Rabu (27/03/2019) pukul 18.30, sebuah diskusi digelar di Pendopo Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Jember dengan tajuk ‘Fenomena Hoax dalam Kontestasi Politik Indonesia.’  Acara oleh Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah (BKMS) ini mendatangkan dua orang pemateri, yaitu Dr. Tri Chandra Aprianto S.S., M.Hum. dan Dr. Ikwan Setiawan S.S. M.A. Mereka adalah dosen FIB yang dianggap mempunyai kapabilitas dalam bidang politik dan sosial.

Acara dimulai dengan pembukaan dan doa yang kemudian dilanjutkan penyampaian materi.  Setelah itu, diadakan dua ronde sesi tanya jawab yang masing-masing dibatasi 3 pertanyaan.  Para peserta yang hadir adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah dari berbagai angkatan.  Mereka semua terlihat cukup antusias dengan acara diskusi itu, satu waktu serius mendengar pembahasan yang disampaikan, namun tidak jarang juga terdengar tawa pecah menanggapi lelucon yang dilemparkan pemateri.  Sesi terakhir dilakukan serah terima bingkisan oleh pembina BKMS kepada pemateri dan ditutup oleh sebuah penampilan puisi.

Jevanda Rike Prastika, salah satu mahasiswa baru yang turut hadir mengaku bahwa acara kali ini mengangkat tema yang menarik, begitupun dengan Satria Yudanagara, mahasiswa satu tingkat di atasnya.  Menurut Satria, acara seperti ini akan membekali mahasiswa yang dipandang sebagai insan intelektual untuk mengkritisi informasi hoaks yang begitu masif penyebarannya.

“Saran saya sebagai peserta diskusi tersebut ialah tumbuhkan sikap kritis bagi masyarakat, khususnya mahasiswa, agar tidak mudah ikut percaya terhadap segala pemberitaan yang ada.” papar Satria.

Hoaks dan Politik Praktis

Dalam diskusi ini turut disampaikan bahwa produksi hoaks erat kaitannya dengan fungsi praktis politik.  Kata hoaks sendiri mengacu pada sebuah istilah di zaman yunani kuno yaitu hocus yang memiliki makna siasat, atau tipu muslihat.

Tak dipungkiri lagi, politik dalam ranah praktis, sebagaimna diungkapkan oleh Nicollo Machiavelli adalah cara-cara untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan yang sebesar-besarnya.  Tak dikenal upaya-upaya moral di dalamnya.  Lebih jauh, kajian tersebut bukan dimaksudkan untuk mendegradasi nilai kemanusiaan, melainkan menelanjangi sistem politik agar bekerja pada koridornya.  Ada tanggung jawab berupa stabilitas negara di sana yang lebih penting dari sekedar stigma benar dan salah.

Seorang penguasa, sebagaimana disinggung oleh  Dr. Tri Chandra Aprianto S.S., M.Hum. harus memperhatikan apa yang disebutkan dalam buku Il Principe karya Machiavelli sebagai realisme politik.  Segala cara dapat diupayakan untuk mencapai tujuan yang tidak lain adalah ‘kekuasaan’ itu sendiri.  Tidak ada kewajiban bagi seorang penguasa untuk mempercayai atau tunduk pada sesuatu, kecuali yang menuntunnya pada kekuasaan.  Begitulah yang terjadi pada fenomena hoaks atau berita bohong, yang dianggap sebagai suatu cara yang ampuh untuk mendapatkan kekuasaan.

Secara konseptual, kekuasaan dalam ranah politik adalah sebuah kekuatan yang mampu digunakan untuk mengatur kehendak orang lain, salah satunya melalui kebenaran yang dipercayai bersama.  Dengan menguasai kehendak orang banyak, seorang penguasa akan menjalankan pemerintahan sesuai tujuan yang ingin dicapai.

Tidak dapat dipungkiri memang adanya hoaks sudah mencampuri dunia politik Indonesia.  Melansir dari detiknews (02/01/2019), Sebanyak 62 konten hoaks terkait Pemilu 2019 diidentifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo) selama Agustus-Desember 2018 dan hoaks paling banyak teridentifikasi pada Desember 2018.

Hoaks dalam Kajian Post-truth

Di luar ranah politik, hoaks dapat dilihat dari kacamata post-truth atau pasca-kebenaran. Ini merupakan salah satu bahasan yang menarik dalam diskusi yang digelar malam kamis tersebut.  Hoaks yang dilihat sebagai suatu trik, tipu muslihat, diibaratkan sebagai sebuah upaya untuk membangun kebenaran.  Lucunya, hoaks tidak hanya terjadi dalam praktik politik, namun juga dalam kehidupan sehari-hari.

Kebenaran umumnya diproduksi atau didengungkan oleh pihak-pihak yang memang memiliki otoritas atas sumber data.  Kebenaran secara umum, menurut pemateri juga dapat dikaitkan dengan sesuatu yang telah disepakati bersama.  Ketika telah banyak orang menyepakati sebuah kebenaran, maka itulah kebenaran.  Kajian post-truth kemudian hadir setelah fase tersebut.

Informasi yang tidak valid, kebohongan, baik itu disengaja maupun tidak, kini disebarluaskan dan diulang secara terus-menerus hingga menjadi kebenaran.  Hal itu menurut  Dr. Ikwan Setiawan S.S. M.A., turut diperparah dengan media sosial yang semakin memfasilitasi tradisi kelisanan.  Artinya, meskipun format penyebaran informasi itu berupa tulisan, namun kualitasnya hanya pada spontanitas lisan.

Menurutnya masyarakat Indonesia belum siap untuk menjadikan budaya litaratif sebagai pondasi ber-media sosial.  Kita―dalam banyak kesempatan―masih mengungkapkan spontanitas kelisanan dalam menggunakan media sosial.  Sementara itu, hoaks yang bertujuan membangun kebenaran sebenarnya juga hadir dalam iklan-iklan yang beredar di televisi. “Hanya saja, kita tidak menganggap itu hoaks, karena tidak ada tujuan politik.” papar Ikwan.

Sebagaimana dipaparkan oleh salah satu panitia acara, acara diskusi kali ini memang ditujukan untuk mempersiapkan mahasiswa baru selaku pemilih pemula untuk menghadapi Pemilihan Umum 2019.  Terlebih beban sebagai insan akademis yang menerima mandat dari masyarakat memang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya.

“Setidaknya pandangan kita (terkait hoaks) ini dapat membantu, sedikitnya untuk keluarga ataupun teman.” papar Aminullah selaku panitia.[]

 

 

Editor: Endah Prasetyo

Leave a Reply