Kebudayaan dan Kompleksitas: Membongkar Realitas Ketidakadilan Gender

Menyoal kebudayaan barangkali pikiran kita akan membayangkan sesuatu yang kompleks dan luas. Seyogyanya, kebudayaan bukan hanya dimaknai sebagai hal-hal yang bertalian dengan tradisional, adat, dan kesenian. Lebih dari itu, kebudayaan bahkan dapat dimaknai sebagai kebiasaaan, cara hidup, kepercayaan bahkan proses belajar suatu kelompok masyarakat modern. Di Indonesia, masyarakat mengenal kebudayaan sebagai adat, kesenian, dan nilai-nilai yang bertalian dengan tradisional. Kebudayaan Indonesia ini kemudian disebut-sebut sebagai kekayaan yang patut dibanggakan. Alih-alih membanggakan, bagaimana jika kebudayaan Indonesia ini lantas menjadi akar dari adanya ketidakadilan gender?

Baru-baru ini Sumbu Filosofi Yogyakarta secara resmi diakui sebagai bagian dari warisan budaya dunia oleh UNESCO. Ini merupakan salah satu bukti dari kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Itu baru sebagian dari perwujudan warisan budaya yang berbentuk benda. Lebih jauh, Indonesia bahkan dinobatkan sebagai negara super power di bidang budaya oleh UNESCO pada tahun 2017. Dengan tingkat kemajemukan yang tinggi dibuktikan dengan 1.340 suku bangsa dan 2.500 jenis bahasa serta sejumlah kekayaan warisan budaya, baik yang berupa benda dan non-benda (Statistik Sosial Budaya, 2021: 4).

Berdasarkan sajian data tersebut, budaya yang dimaksud masih tampak abu-abu. Agar tertuang lebih jernih mari kita coba runut eksistensi budaya yang dimaksud dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Kita mulai dari bagian wilayah paling barat hingga timur Indonesia. Kemudian kita akan mengembangkannya menjadi pembahasan yang lebih merujuk kepada perspektif perempuan dalam kebudayaan Indonesia. Menurut Khairul Hasni dalam esainya yang diterbitkan Jurnal Perempuan, seorang direktur Jari Aceh (Jaringan Perempuan untuk Keadilan) ini mengemukakan bahwa kedaulatan budaya khususnya berdasarkan perspektif perempuan dan dalam konteks kebudayaan besar Indonesia, mencakup kebudayaan leluhur bangsa Indonesia yang berakar dari tradisi dan budaya suku-suku peninggalan terdahulu, budaya nusantara yang kemudian tersebar pada seluruh provinsi di Indonesia.

Ilustrasi: Adi Faiq

Di Aceh, berbagai problematika kemudian muncul dan menimpa kaum perempuan. Salah satunya juga karena tingkat religiusitas, sehingga tafsir agama terus dimunculkan sebagai senjata untuk mengultimatum perempuan. Penerapan kebijakan terhadap perempuan ini didasarkan kepada syariat Islam yang kemudian menjadi kebijakan yang diatur oleh pemerintah daerah. Hal ini tentu mengakibatkan kerentanan terhadap perempuan dalam hal diskriminasi, kekerasan, dan terpinggirkan. Kebijakan yang diterapkan ini berbentuk semacam pendisiplinan tubuh perempuan. Misalnya melalui pengaturan penggunaan berbusana bagi perempuan di Aceh (Sukma dan Maharani, 2019).

Lebih lanjut, kita akan mencoba menilik budaya yang ada di Jawa itu sendiri. Etnis Jawa utamanya perempuan Jawa identik dengan stereotipe tertentu yang dilekatkan kepada setiap orang di dalamnya. Stereotipe yang muncul kemudian terkait dengan representasi perempuan sejati yang selalu dihubungkan dengan bentuk tubuh dan kodrat alami perempuan. Hal tersebut kemudian diindahkan secara turun temurun bahkan membentuk suatu tatanan yang pada akhirnya sukar untuk dihilangkan (Budiati, 2010: 53). Selain itu, perempuan Jawa juga dikenalkan salah satu ajaran yang diajarkan Nyi Hartati kepada Rancangkapti terkait dengan “kias lima jari tangan”. Ajaran tersebut kemudian memberi gambaran tentang pelemahan terhadap perempuan (Budi Susanto dkk, 2000: 24). Tidak hanya dalam hal adat, representasi perempuan Jawa dan stereotipenya bahkan terkandung dalam karya Sastra Jawa. Baik berupa sastra Jawa Kuno ataupun sastra Jawa Modern. Selain itu, hal tersebut juga dapat ditemui dalam serat-serat dan kisah pewayangan, salah satunya adalah Serat Panitisastra (Budiati, 2010:53)

Selain di bagian barat Indonesia, ada juga di bagian timur yang jika ditelaah juga terdapat unsur-unsur bias gender dalam budayanya. Di Sumba, Nusa Tenggara Timur ada salah satu tradisi yang kemudian sangat menunjukkan adanya ketidakadilan terhadap perempuan bahkan bisa dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan. Tradisi tersebut dinamakan Yappa Mawine atau Paneta Mawinne, dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai kawin tangkap. Menurut Tanggu et al (2021:182) kawin tangkap adalah prosesi perkawinan yang tanpa adanya persetujuan dari salah satu belah pihak. Kawin tangkap ini merupakan jenis perkawinan yang terjadi tanpa adanya rasa cinta. Akan tetapi ada kesepakatan orang tua dengan tanpa mempertimbangkan persetujuan pihak perempuan. Berbagai alasan dibalik adanya kawin tangkap ini, antara lain masalah ekonomi, mempererat kekerabatan.

Menurut Elanda Welhelmina Doko et al (2021) kawin tangkap dapat dikategorikan ke dalam bentuk pemaksaan perkawinan terhadap perempuan. Tidak hanya itu Perempuan Sumba yang mengalami kawin tangkap pada dasarnya akan menghadapi kekerasan berlapis berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan peminggiran dalam kehidupan sosial masyarakat. Kekerasan fisik yang diterima yaitu berbentuk penculikan, pemaksaan, penyekapan, hingga pemukulan. Selain itu seorang perempuan yang mengalami kawin tangkap bahkan memperoleh kekerasan seksual berupa pelecehan dan pemerkosaan. Bagi perempuan yang berhasil melarikan diri dari kawin tangkap dan memperoleh bantuan hukum pun akan senantiasa mendapat stigma dan dipinggirkan oleh masyarakat.

Berdasarkan uraian tersebut tentu menyebabkan trauma yang tak berkesudahan bagi perempuan Sumba. Proses penyembuhan atas rasa sakit yang diterimanya membutuhkan waktu yang lama. Apalagi hingga saat ini kawin tangkap masih terus dipraktikkan dengan dalih kebudayaan setempat. Bayang-bayang akan hal itu masih terus menjadi hantu bagi mereka, terkhusus bagi penyintas dan secara umum bagi Perempuan Sumba.

Meskipun pada dasarnya pemerintah Pulau Sumba dengan desakan aktivis perempuan yang ada di daerah Nusa Tenggara telah menyepakati kesepahaman untuk menolak kawin tangkap sebagai budaya Sumba pada tahun 2020, hal ini juga masih belum efektif dan tidak cukup untuk menjamin ruang aman bagi perempuan. Buktinya pada tahun 2023 kasus serupa masih kerap terjadi.

Kasus kawin tangkap yang sempat dipublikasikan melalui video di media sosial dan trending terjadi pada Kamis, (7/9/2023) lalu. Seorang perempuan di Sumba tiba-tiba dihampiri dan ditangkap oleh sekelompok laki-laki. Mereka membawa perempuan tersebut ke dalam pikap secara paksa di tengah keramaian. Hal tersebut terjadi di daerah Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (BBC News Indonesia, 2023).

Hingga saat ini, kawin tangkap masih terus dipertentangkan karena dianggap telah merampas kemerdekaan dan usaha peminggiran perempuan. Kawin tangkap tidak lagi menjadi bahasan adat dan kebudayaan Indonesia. Namun hal ini merupakan bagian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia dan tindakan kriminal yang dipidanakan.

Beberapa data di atas sebenarnya menjadi catatan hitam dan koreksi lebih lanjut atas pelestarian budaya yang sifatnya merugikan utamanya terhadap perempuan. Data tersebut hanya menjadi sebagian kecil perwujudan realitas perempuan dan budaya Indonesia. Masih banyak lagi sebenarnya berbagai budaya Indonesia yang masih bias gender dan menyebabkan ketimpangan.

Dalam ranah yang lebih positif, harusnya perempuan tidak lagi diekploitasi atas budaya yang ada. Perempuan dapat berperan sebagai agen kebudayaan atau penjaga kebuadayaan, bukan lagi menjadi objek ekploitasi secara terus menerus.

Sebagai contoh, perempuan pesisir sebagai penjaga kebudayaan dalam hal pengelolaan sumber daya laut, seperti penangkapan ikan, kepiting, udang, penentuan ruang laut, hingga zona tangkap dan zona larang. Hal ini dikemukakan dalam salah satu artikel yang diterbitkan di Mongabay.co.id, bahwa perempuan memiliki peran pemting sebagai penjaga sumber pengetahuan dalam melaut. Bahkan tidak hanya itu, perempuan di pesisir juga memiliki peran membantu perekonomian keluarga melalui penghasilan saat panen kepiting.

Tidak hanya di pesisir, sebagaimana dilansir dari artikel bandungbergerak.id, di Bandung peran perempuan ini menjadi sangat penting juga dalam hal menjaga tradisi. Contohnya dalam hal pelestarian tradisi yang ada di Kampung Adat Cireundeu, Cimahi yang hampir seluruh peran penting dalam kegiatan adatnya dilakukan oleh perempuan. Hal ini dibuktikan melalui salah satu tradisi tahunan yang ada di sana, yaitu acara Seren Tahun. Seluruh rangkaian kegiatan dilakukan oleh perempuan.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tradisi yang merugikan terhadap perempuan tentu tidak cukup dengan membangun wacana dan urgensi terkait dengan “perempuan penjaga budaya”. Perlu adanya upaya penangan konkrit utamanya dari pemerintah dalam hal pemilahan tradisi yang wajib dilestarikan dan tidak. Selain itu bisa juga dilakukan pendampingan dan sosialisasi, serta kehadiran pemerintah ditengah-tengah masyarakat.

Salah satunya sebagaimana yang dilakukan oleh Ririn Hajudiani bersama Lembaga Pengembangan Sumber Saya Mitra (LPSDM) yang mendirikan sekolah perempuan di Lombok Timur. Meskipun awalnya berbagai tantangan dihadapinya namun langkah ini berhasil dilakukan. Ia melalui Sekolah Perempuan berhasil membuat perempuan terlibat dalam berbagai kegiatan adat yang awalnya hanya dilakukan oleh laki-laki (Ardiani, 2022: 201-209).

Sudah seharusnya pemerintah mengadopsi cara-cara sebagaimana yang dilakukan oleh Ririn. Melalui hal tersebut kita juga dapat melihat sejauh mana komitmen pemerintah dalam mengatasi bias gender, ketidakadilan, dan kekerasan, utamanya terhadap perempuan dalam konteks kebudayaan.

 

Ilustrator: Adi Faiq

Penulis: Fatmawati

Editor: Haikal F.

Leave a Reply