Sesekali cobalah buka fitur kesehatan digital di ponsel, lalu lihat berapa menit yang terbuang untuk chatting WhatsApp, scrolling Instagram, TikTok, atau Facebook dalam sehari. Jika boleh berasumsi, pasti di atas 30 menit, bahkan berjam-jam. Awal tahun 2023, We Are Social melaporkan pengguna media sosial (medsos) di Indonesia pada kuartal ketiga 2022 sejumlah 60,4% total populasi, dengan durasi penggunaan rata-rata 3 jam 18 menit perharinya. Padahal, batas aman penggunaan medsos menurut Philip Cushman, psikoterapis dari California School of Professional Psychology, menyarankan agar penggunaan medsos hanya setengah sampai satu jam saja perhari. Setidaknya, tidak sampai dua jam atau lebih. Penggunaan secara kemaruk ini menunjukkan seolah-olah media sosial sudah tidak sejalan lagi dengan tujuan awal pembuatannya, melebihi takdir: menjalin komunikasi jarak jauh dan perluasan relasi. Dalam artian, durasi penggunaan media sosial bukan lagi normalnya selingan, melainkan sudah kebutuhan pokok; dunia kedua.
Kecanduan
Survei yang dilakukan oleh We Are Social di atas nampaknya sudah cukup untuk dijadikan bukti, bahwa kebanyakan dari kita saat ini bukan lagi pengguna, tetapi pecandu media sosial. Kimberly Young, psikolog asal AS yang fokus terhadap adiksi dan perilaku online menyebutkan, ciri seseorang sudah kecanduan media sosial ialah 1) merasa sibuk atau asyik dengan media sosialnya, 2) merasa membutuhkan sosial media dengan meningkatkan jumlah waktu penggunaanya, 3) tidak mampu mengontrol atau mengendalikan diri untuk mengurangi penggunaan sosial media yang berlebihan, 4) merasa gelisah, murung, depresi, atau marah ketika mencoba untuk mengurangi serta menghentikan penggunaan sosial media, 5) menggunakan media sosial lebih lama daripada yang direncanakan, 6) menggunakan media sosial sebagai jalan keluar pada masalah yang dihadapi. Hanya kita sendiri yang tahu, soal apakah kita kecanduan ataukah tidak.
Kecanduan media sosial dapat terjadi karena dopamin yang dihasilkan otak saat bermedsos. Dopamin ini yang menimbulkan efek kesenangan sesaat, lalu merasa ingin terus mengulanginya. Jika jumlah dopamin terlalu banyak, maka dampaknya akan negatif, beberapa di antaranya ialah mudah gelisah, insomnia, dan lebih rentan terserang stres serta gangguan mental lainnya.
Multitasking
Benda kecil yang bernama ponsel itu pasti jarang terlepas dari genggaman. Termasuk ketika melakukan berbagai kegiatan seperti makan, bekerja, sampai ketika bertemu dan ngobrol dengan orang lain. Selain karena dituntut oleh keharusan selalu membawa ponsel untuk kebutuhan komunikasi, kecanduan terhadap medsos juga membuat seseorang lebih sering membuka ponsel. Membanjiri otak dengan dopamin. Membuat kesenangan semu. Terkadang justru kecemasan–yang juga semu.
Rutinitas yang seharusnya dilakukan dengan fokus, menjadi terdistraksi dengan adanya notifikasi, atau sekadar keinginan untuk mengecek beranda media sosial. Akibatnya terjadilah sesuatu yang disebut multitasking, (seolah-olah) mengerjakan beberapa kegiatan sekaligus. Hal ini ternyata berdampak buruk bagi kesehatan otak manusia. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Microsoft mengungkapkan bahwa sejak adanya internet dan smartphone, manusia mengalami penurunan tingkat fokus, dari yang semula 12 detik menjadi 8 detik. Tingkat fokus manusia lebih rendah ketimbang ikan mas koki yang hanya 9 detik. Hal ini disebabkan konten-konten yang disajikan media sosial, apalagi yang sedang digandrungi saat ini, adalah konten-konten instan dan pendek. Misalnya konten-konten video di TikTok atau Reels yang berdurasi kisaran satu menitan. Ini yang menyebabkan seseorang menjadi tidak betah dan tidak kuat untuk melakukan sesuatu yang memerlukan fokus dalam waktu yang lama, misalkan membaca, ngobrol, atau menonton video panjang. Multitasking sebenarnya hanya beralih dari fokus satu hal ke hal yang lain, bukan mengerjakan sesuatu secara bersamaan. Kita sebenarnya tidak ngobrol sambil membalas pesan WhatsApp, tetapi kita mengalihkan perhatian kita dari mengobrol ke membalas pesan WhatsApp secara bergantian.
Hiperrealitas dan Perilaku Impulsif
Kecanduan yang demikian kemudian membuat kita dipaksa tanpa merasa dipaksa, untuk selalu dan selalu membuka media sosial. Terjebak ke dalam dunia yang oleh Jean Baudrillard, seorang filsuf posmodern asal Perancis, disebut dengan Hiperrealitas. Tidak bisa membedakan mana yang fantasi dan mana yang kenyataan. Realitas buatan dianggap lebih nyata daripada realitas nyata itu sendiri. Misalnya saja ketika kita tiba-tiba merasa kurang percaya diri, ingin bersaing, sampai iri ketika melihat seorang teman mengunggah foto dengan kulit mulus dan baju mahalnya, atau mengunggah minivlog liburan ke Pantai Papuma. Padahal seharusnya kita sudah tahu bahwa semua hal yang diunggah di medsos sudah melalui pemilihan dan pemilahan pengunggahnya, bahkan juga terkadang dimanipulasi terlebih dahulu. Misalkan juga ketika ingin berlibur, terkadang tujuan kita bukanlah untuk penyegaran dan bersenang-senang, tetapi sekadar mencari bahan “untuk membuat postingan” di media sosial. Menjadi pertanyaan kemudian, tujuan hidup dan tempat hidup itu sebenarnya ada di realitas nyata, atau di realitas virtual? Hal di atas terkait apa yang disebut Baudrillard sebagai terjadinya realitas simulakra/simulasi, saat realitas yang sesungguhnya baur dengan realitas virtual tanpa batas yang tegas antarkeduanya. Realitas simulasi dalam Yasraf (2020: 13) adalah proses penciptaan bentuk-bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asal usul atau referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi tampak nyata. Pada zaman simulakra semacam ini, simulasi atau hal-hal yang ditampilkan di beranda virtual alih-alih mewakili realitas sebenarnya, ia justru menciptakan ilusi atau fantasi yang melenakan.
Tertipu dengan hiperrealitas pada akhirnya juga berujung pada banyak hal, salah satunya perilaku impulsif. Seolah-olah segala sesuatu yang ada di media sosial itu selalu benar dan wajib diimani. Beberapa dari kita mungkin pernah melihat banyak orang di Instagram mengunggah foto menggunakan pakaian model tertentu, kemudian langsung tertarik dan membelinya. Kita mendengar lagu dan tarian bagus di TikTok, kemudian langsung memutuskan untuk menirunya. Atau, misalnya saja soal lato-lato dan Citayam Fashion Week, selatah itu ternyata kita terhadap hal-hal viral. Keputusan-keputusan menjadi hal yang ditentukan oleh tren dan keviralan. Lantas, sebenarnya seberapa besar peran manusia dalam hal mengendalikan dirinya, termasuk kemauannya sendiri?
Kontrol Diri
Agar tidak terjebak dalam semunya hiperrealitas, atau menjadi pribadi yang impulsif, semestinya kontrol diri memang perlu ditingkatkan. Jika memang yang mengganggu kontrol diri itu adalah media sosial, ada beberapa tawaran yang jika cocok, bisa dipakai dan dipraktikkan.
Pertama, manajemen waktu.
Kita mesti dapat membagi waktu antara bermedsos dengan menjalani kehidupan di realitas nyata. Jangan sampai waktu yang digunakan untuk bermedsos jauh lebih banyak ketimbang dengan yang dihabiskan di realitas nyata. Waktu yang dimaksudkan di sini adalah kesadaran mengenai itu (mindfulness). Jadi, bukan hanya persoalan durasi penggunaan media sosial di fitur kesehatan digital, melainkan juga kesadaran dalam menggunakannya. Sama saja jika menggunakan media sosial hanya sejam, tetapi sejam itu dilakukan bersamaan dengan membahas sesuatu hal dengan kolega atau teman. Tetap multitasking.
Lebih baik, siapkan waktu tersendiri untuk membalas pesan WhatsApp, mengguliri beranda TikTok, atau bercuit di Twitter; dengan kegiatan-kegiatan lain semisal membaca buku, menonton film, dan bertemu dengan orang lain. Intinya, jangan sampai multitasking yang sebenarnya hanya pengalihan fokus itu terlalu sering dilakukan dan mengganggu “kewarasan”.
Kedua, Skala Prioritas.
Tidak usah terlalu mementingkan kebaruan (FOMO). Kebanjiran informasi hanya akan membuat penumpukan beban mental. Jika memang tidak perlu, atau minimal tidak merasa suntuk, sesekali tidak usah membuka media sosial. Jika memiliki kebiasaan bangun tidur langsung memegang ponsel, sebaiknya mesti lekas dihilangkan. Hal tersebut dapat menyebabkan kondisi yang disebut dengan morning slump dan akan mengganggu produktivitas. Sebaiknya, bangun tidur digunakan untuk hal-hal berbau spiritual seperti meditasi, intelektual seperti membaca buku dan mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan fokus tinggi, dan menyusun to do list sepanjang hari.
Ketiga, gunakan fitur sebaik mungkin. Gunakan fitur kesehatan digital pada ponsel dengan sebaik-baiknya. Jika sudah dalam tingkat kecanduan parah, coba manfaatkan fitur ini. Pasang timer guna memantau penggunaan aplikasi media sosial. Meskipun fitur tersebut “agak” tersembunyi, setidaknya ini dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam hal mengatur penggunaan ponsel, utamanya media sosial sehari-hari. Untuk mempersempit godaan membuka medsos, matikan notifikasi-notifikasi yang tidak penting.
Hari Media Sosial yang diperingati setiap 10 Juni, lima hari yang lalu, selayaknya digunakan untuk ajang refleksi mengenai medsos dan segala dampak baik-buruknya. Media sosial harus digunakan dengan bijak. Jangan sampai hal-hal buruk seperti termakan berita hoaks, depresi, dan kehilangan skil sosial di dunia nyata timbul akibat penggunaan media sosial secara tidak bijak.
Editor: Haikal Faqih
Ilustrasi: Rizqi Hasan