Judul: Tarian Bumi
Penulis: Oka Rusmini
Desain Cover: Fandy Dwimarjaya
Setting: Ryan Pradana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2017
ISBN: 978-602-03-3915-3
Tebal: 183 halaman
“Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh…. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.” (hlm. 25)
Bali adalah daerah yang memiliki keindahan mengagumkan. Keindahan tersebut diantaranya pantai dengan sunset yang indah, dan keseniannya yang eksotis. Bali juga memiliki adat istiadat yang kental, agama yang kuat, yang tak jarang membuat masyarakat di sana, khususnya perempuan menomorduakan dirinya sendiri. Tapi di sisi yang lain, perempuan Bali tetap berusaha mendobrak aturan-aturan yang berlaku. Penulis Oka Rusmini mengangkat cerita kehidupan perempuan Bali yang sebenarnya ke dalam novel Tarian Bumi.
Tarian Bumi merupakan novel fenomenal sekaligus kontroversial. Ia diceritakan dengan alur maju mundur, sudut pandang orang ketiga, dan perpindahan tokoh yang cepat. Gaya bahasa yang digunakan Oka Rusmini memiliki perpaduan antara jelas, lugas, tajam, dan puitis.
Ida Ayu Telaga Pidada, tokoh utama dalam novel ini merupakan seorang Brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali. Ia merupakan anak hasil perkawinan Ida Bagus Ngurah Pidada, lelaki Brahmana dengan Ni Luh Sekar, perempuan Sudra, kasta terendah dalam struktur masyarakat Bali. Perkawinan keduanya sangat ditentang oleh Ida Ayu Sagra Pidada, ibu sang mempelai laki-laki, seorang putri Brahmana yang sangat menjaga wibawa kebangsawanannya. Cerita Tarian Bumi didominasi oleh kehidupan tiga perempuan beda generasi tersebut, Ida Ayu Telaga Pidada, Ni Luh Sekar, dan Ida Ayu Sagra Pidada.
Novel ini dibuka dengan Luh Sari, anak Telaga yang sedang menceritakan kegiatannya di sekolah kepada ibunya dengan menggebu-gebu. Sambil mendengarkan cerita anaknya, Telaga mengalami pergolakan batin, tenggelam dalam kubangan rasa sakit. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri tentang pilihan yang telah dibuatnya, pilihan yang berasal dari hatinya. Telaga mengingat masa lalunya, perempuan Brahmana tercantik, penari terbaik yang memiliki taksu para dewa tari. Sesuai dengan harapan Sekar pada anaknya. Anaknya menjadi perempuan Brahmana tercantik dan penari terbaik, tapi tidak untuk menikah dengan lelaki Brahmana, kasta yang sama dengan Telaga.
Sekar muda yang dulunya perempuan Sudra memiliki ambisi yang teramat besar, yaitu menjadi perempuan tercantik, penari terbaik, dan menikah dengan lelaki Brahmana. Sekar lelah menjadi orang miskin yang terpinggirkan dan ingin mengangkat derajat keluarganya. Harapan dan ambisi Sekar tercapai. Ia menjadi perempuan tercantik, penari terbaik, dan berhasil menikah dengan Ngurah Pidada, lelaki Brahmana yang dianggap tolol oleh Telaga, anaknya sendiri.
Nyatanya menikah dengan putra Brahmana tidak membuat Sekar bisa mengangkat derajat keluarganya, ia harus menjadi orang lain–menjadi orang baru, meninggalkan nama lamanya, dan tidak bisa dekat dengan keluarga lamanya lagi.
Sagra Pidada, ibu Ngurah Pidada kecewa pada anaknya karena tak menikah dengan seorang Ida Ayu. Sagra tidak suka dengan Sekar dan selalu berkonflik dengannya. Hubungan yang tegang antara ibu dan neneknya membuat Telaga bingung harus berpihak kepada siapa. Kedua perempuan itu memiliki kebaikan yang berbeda dalam pembentukan Telaga sebagai perempuan.
Kekecewaan ibu pada anak tak berhenti di Sagra. Hal ini juga terjadi pada Sekar. Pengharapan yang ditanamkan Sekar pada Telaga terlibas. Sekar kecewa pada Telaga yang memutuskan kawin lari dengan Wayan, lelaki Sudra. Perkawinan yang seharusnya tidak terjadi. Perkawinan yang dilarang oleh adat. Perkawinan yang dapat membawa mala petaka karena seorang Sudra mencuri apa yang harusnya ia jaga. Dewa-dewa akan murka. Seorang putri Brahmana tak lagi Brahmana, ia menjelma menjadi perempuan Sudra.
Tarian Bumi, novel karya Oka Rusmini tak hanya menggambarkan kedudukan perempuan Bali dalam struktur masyarakat Bali dan beban diskriminsi kasta yang ditanggung, tapi juga menggambarkan seksualitas non-heteroseksual. Hal tersebut digambarkan oleh tokoh Kenten, perempuan Sudra yang menyukai sahabatnya sendiri, Sekar.
Oka Rusmini dalam novelnya menggambarakan sebagian besar tokoh lelaki sebagai sosok yang tidak bertanggung jawab. Mereka hanya memanfaatkan perempuan-perempuan mandiri yang bekerja keras dan bisa menghasilkan uang. Mereka bisa bersantai dengan modal bualan-bualan cinta dan perhatian yang kosong tak bermakna. Oka Rusmini juga dengan gamblangnya mengkritik sikap pemerintah yang kurang menghargai seniman. Tokoh Kembren, seorang penari Bali berbakat yang banyak mendapatkan penghargaan semasa hidupnya nyatanya hidup kesusahan. Piagam dan sertifikat yang dianggapnya dapat membantu kehidupannya kelak, sama sekali tidak berguna. Kesenian, pengetahuan, dan pengalamannya pun hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dalam Tarian Bumi terlihat bahwa perempuan-perempuan Bali memberontak adat yang mengakar. Mereka ingin lepas dari kungkungan sistem yang membuat mereka tidak bebas. Di satu sisi mereka tetap ingin menjaga kebudayaan Bali. Mematuhi atau melanggar adat istiadat, semua memiliki konsekuensinya masing-masing.
“…Manusia hidup memiliki keinginan, memiliki mimpi. Itulah yang menandakan manusia hidup. Batu juga memiliki keinginan. Dalam kediamannya dia mengandung seluruh rahasia kehidupan ini.” (hlm. 85)
Tarian Bumi memberi kita wawasan bagaimana kehidupan masyarakat Bali, perempuan Bali dan keperempuanannya. Tarian Bumi, sebuah novel karya Oka Rusmini juga memberikan penegasan bahwa perempuan harus berani. Perempuan juga bisa bermimpi dan mewujudkannya. Perempuan berhak memilih jalan hidupnya sendiri, dan tentu mereka selalu memliki harapan, karena harapan adalah kehidupan.
Tabik!
Editor: Bagus