Preposisi Ke- Milik Pak Diri, di Kereta

Apa yang akan kamu lakukan ketika pertanyaan “Mau ke mana, Pak? dijawab dengan jawaban satire ala bapak-bapak? Jawaban bapak itu kira-kira begini “Mau kembali ke-diri” Ada beberapa pilihan sebenarnya untuk merespon itu: pertama, tertawa riang tanpa berpikir apa-apa karena menganggap hal itu berguna untuk mencairkan suasana; kedua, merenung sejenak dan mempertanyakan kepada diri; ketiga, tertawa kemudian merenung dan mempertanyakan kepada diri; keempat, meminta bapak itu mengulanginya lagi karena tidak terjadi kesepahaman. Lebih jauh, posisimu saat itu–berada di dalam gerbong kereta antar kota tujuan Jember dari arah Solo dan sedang transit di Surabaya–kebetulan sedang meratapi diri sendiri.

Setidaknya ada dua kemungkinan makna gramatikal ungkapan “kembali ke-diri” yang disebut oleh bapak itu. Maka dari itu sengaja dicantumkan dengan menggunakan tanda strip sebagai penghubung antara ke dan diri. Walaupun, sebenarnya dalam tata bahasa baku tentu itu tidak tepat. Kemungkinan pertama, “ke-diri” adalah maksud ungkapan menyatakan nama tempat. Jadi, penulisannya tidak demikian. Akan tetapi disambung tanpa tanda strip menjadi “Kediri”. Selepas itu, saya baru mengingat kalau kereta yang saya tumpangi sebelumnya telah melewati Kediri. Mungkin bapak itu terinspirasi dari nama daerah tersebut.

Berlanjut pada kemungkinan kedua, “ke diri” ditulis dengan spasi dan terpisah. Ia mengandung preposisi ke sebelum kata diri. Lalu, konteks kalimatnya adalah “kembali ke diri” yang dapat dimaknai bahwa segala sesuatu itu akan kembali ke diri. Makna kedua ini bisa menjadi konteks dari ungkapan “kembali ke diri”.

Ungkapan itu begitu sederhana diucapkan tapi dapat membuat manusia merenung sepanjang perjalanan. Kereta antar kota ini memang sangat cocok kiranya untuk dijadikan tempat perenungan. Membuat salah satu penumpangnya tidak tidur sepanjang perjalanan hanya untuk merenungi lamat-lamat apa yang diungkapkan bapak itu.

Ungkapan “kembali ke diri” berdasarkan makna kedua merupakan suatu yang ajaib dan mantra paling mujarab ketika sedang dilanda kebingungan. Meskipun susunan gramatisnya sederhana dan tidak sempurna Ia mampu menyihir siapapun yang dapat mengucapkannya ketika emosi baik atau buruk sekalipun sedang menimpa.

Jika “kembali ke diri” dimaknai perjalanan yang panjang, maka sama dengan kereta yang saya tumpangi. Ia sedang dalam perjalanan yang panjang. Sebenarnya titik tekanmya di sini, perjalanan panjang adalah sebuah proses. Ya, ungkapan “kembali ke diri” membutuhkan proses yang sangat panjang.

Perjalanan panjang sebagaimana disebut paragraf sebelumnya tentu punya variabel yang cukup banyak. Variabelnya bisa saja terdiri dari masalah, emosi, tindakan, dan “kembali ke diri”. Hal itu semua kemudian dibuat sederhana dan menjadi lebih sistematis dengan skema di bawah ini.

Pada skema yang disajikan, pemaknaan masalah tidak akan didikte. Ia akan dibiarkan menjadi universal karena memang sifat dasarnya begitu. Kecil, besar, baik ataupun buruk akan diserahkan kepada pembaca sekalian. Selanjutnya tindakan juga punya sifat yang sama dengan masalah. Tindakan cukup relatif untuk dimaknai dengan konsep apapun. Pada skema di atas yang tidak bisa dimaknai secara bebas hanya satu: emosi.

Emosi perlu diklasifikasikan sebagaimana kata Krech yang dikutip Minderop dalam buku Psikologi Sastra-nya. Emosi paling mendasar manusia terdiri dari kesedihan, kegembiraan, kemarahan, dan ketakutan. Paling tidak emosi tersebut sebagai respon dari masalah-masalah yang sedang dihadapi manusia.

Dan tidak lupa, nurani juga tercantum pada skema tersebut. Bukan sebagai variabel yang masuk dalam rangkaian proses. Dapat diragukan bahwa nurani bisa bekerja sepenuhnya dengan keadaan tertentu yang sering memengaruhi menusia. Meskipun demikian nurani adalah suatu hal memiliki nilai paling penting dan tinggi yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang jernih serta terlatih. Nurani akan bekerja ketika seseorang mengembalikan semua kepada dirinya sendiri.

Ada banyak keadaan tertentu di dunia ini yang dapat memengaruhi manusia, sehingga nurani tidak bekerja sepenuhnya atau bahkan terdistorsi. Hal tersebut dapat berupa relasi kuasa, proyeksi atas kekuasaan, dan keengganan diri. Keengganan diri yang dimaksud adalah mau atau tidak seseorang untuk mendengarkan nuraninya tersebut. Karena pada dasarnya, manusia selalu sadar akan kesalahan yang dirinya perbuat. Namun, keengganan sering juga turut andil memengaruhi. Terakhir, setelah tulisan ini usai semoga tidak akan ada pertanyaan semacam ini: di manakah manusia meletakkan nurani dan pendengaran terhadap nuraninya?

Selamat kembali ke diri!

Ilustrasi: Adi Faiq

Editor: Haikal Faqih

Leave a Reply