Beberapa tulisan untuk menjembatani bagaimana relasi dahaga, kuasa, dan alam masa kini:
AMPAS NEGERI
oleh: Mario
Kami disuguhkan semburan kemih
di atas piring lugu
Sambil merekah tawa pincang
Dahinya penuh kerut
Carut-parut di sekitar
Berkelakar semacam kelapa parut
Tentu mata bertabur liur
“Tolong kami meneguk kemih
Pucat warna, begitu pula pandang kami berampas kemih
Tiada indah, sendah gurau di kejauhan
Tolong
Tolong
Tolong kami dicolong tukang kemih”
“Ada baiknya kerukan di ujung mata rehat sejenak
Pasti penat muncung berkeruk-keruk
Marilah hendaknya kita membeber gerak
Ibu Pertiwi tak lagi sehat wal-afiat”
Bising kosong berserakan
Tentu rehat dikata matanya enggan menampung polusi tangis
Pesing berserakan dibuatnya
dan tengoklah manuk-manik kota itu
berenang di kolam susu.
Tenggelam pula pelik-pelik di gundulan kemih
Tak berkutik
Berenang ampas kemih
Bangun tidur di samping aroma busuk
“Tolong kami meneguk kemih
Pucat warna, begitu pula pandangan kami telak ampas
Tiada rindang, dendang ringisan di seberang pulau
Tolong
Tolong
Tolong kami-
Tercolong hidup
Disuapi tukang kemih”
CARA MENGHILANGKAN JEJAK
Oleh: Anabela Septyana
Setiap kali
Berkelana waktu lampau
Hanya dersik cara bagaimana
Mengkaji benar salah atas apa
Yang diperebutkan, dan tentu
Bagaimana mengusahakan
Agar anak cucu pelaku
Dapat membilasi kaki dan sekujur badan
Bias-bias diterima kembali
Dimanusiakan lagi
dilupakan
Jejak-jejak bapak ibunya
Yang mendamaikan hidup sendiri
Sebari menembaki suara ADIL
Di meja kendali membajak
suara-suara kami sampai mati
Namun, tolak-menolak
Tetap diteriaki hingga pegal
Mulut meski muntah peluru
Di tangan-tangan anak cucunya
Yang sama saja kembali
Mengais kuasa sebari meneguk darah
muda mudi yang mengukir bagaimana cara
menambang seisi alam lagi dan lagi
Hingga yang dicari tinggal satu biji
Sebari menyambut kiamat di akhir nanti
TANAH YANG MENOLAK
Oleh: Muh Slamet Hariyadi
Karang mengunyah asin
gigi-giginya rontok digerus aturan.
Langit dibaluri cat industri,
menetes bak peluh tukang cukur ahli.
Matanya tidak lagi bening-
air laut pun kini menatap balik,
pucat pasi, di suapi janji.
Hilang kendali.
Sekarang, lihat tikus-tikus itu,
menjual nafasnya,
dibalik meja konsultasi publik,
ditulis ulang dalam pasal-pasal kiclik,
di atas pasir yang dihisap licik.
Lihatlah, tambang di gag
di kerat pelan, dikeruk sampai bulu akar,
biar tak terasa sakit
biar tak sempat berkata:
‘Itu rumah’
‘Itu surga kecil’
Miris, melihat!
Derat derit derita gag,
ia menggigil, bukan karena badai-
tapi karena bisik-bisik
yang menjelma izin.
Buldozer itu datang seperti khotbah,
dengan suara berat, tanpa ampun.
Mencium tanah dengan bibir logamnya-
lalu meludah.
Miris bukan,
Melihat surga kecil itu
dibaptis jadi korporasi!
SIALLL!
TANGISAN BUMI
Oleh: Ariel Kusuma Wardhana
Di balik kabut yang kian pekat,
Langit menangis, tercekik sesak.
Daun-daun gugur bukan karena musim,
Tapi karena panas yang kian menyengat
Bahkan sungai tak lagi menyegarkan,
Membawa lumpur, limbah, dan logam-logam.
Ikan hanya bisa pergi
bersama hutan babak belur jabis,
Ranting lenyap sebelum datang angin
Burung-burung kini jarang bernyanyi,
Sawah pun layu, tanah pun mati.
Asap dan bising gantikan lalu lalang angin,
Membunuh sejuk yang dulu lestari.
Bumi kalau masih pantas, maafkan kami,
Yang terlalu sibuk membangun mimpi,
Hingga lupa melestari,
tempat pemberi asih.
Ilustrasi: Aiman Hannan
Pers Tegalboto
Menuju Pencerahan Masyarakat