Till Death Do Us Part (Bagian 3)

“Seharusnya ini bukan mimpi, karena aku bisa merasakan sakitnya. Jelas ini bukan mimpi. tapi harus kusebut dengan apa?”

Digerakkan tubuhnya untuk duduk dan meraih ponsel di meja samping ranjang, rasa nyeri menjalar di otot sekujur tubuhnya. Saat berhasil digenggam, jemari Adnan mulai menari-nari di permukaan datar yang bersinar. Mengetikkan deretan huruf dengan harapan mesin pencarian buatan manusia itu dapat menjawab semua rasa penasarannya. Kalimat demi kalimat ia telusuri dengan teliti, berpindah dari laman satu ke laman yang lain, mengumpulkan penggalan informasi yang tidak masuk akal, lalu menarik benang merah dari hasil pencarian, yaitu “Pusaran Waktu”.

Perlu beberapa menit bagi Adnan untuk mencerna semua hasil pencariannya yang sama sekali tidak masuk akal. Namun, ia tidak bisa berpegang pada asumsi apa pun selain pusaran waktu itu. Nyata atau tidak, pusaran waktu harus dibuktikan. Jika hari ini semua rangkaian kejadian akan berulang seperti sebelumnya, maka pria itu akan berusaha untuk melakukan hal yang sebaliknya. Jam tak lagi dilirik, ia tahu bahwa pukul sebelas siang adalah waktu dimulainya perang dengan pusaran waktu. Pagi ini, tidak ada teh dan bersantai di sofa. Kakinya langsung melangkah ke kamar mandi untuk bersiap-siap.

Kali ini dipilih kemeja putih, sweater, dan celana jins hitam yang dikenakan oleh Adnan. Roda mobil hitam yang dikendarainya berdecit ketika gesekan antara karet ban dan aspal memaksanya untuk berhenti. Adnan melihat sekeliling lalu mengambil ponselnya untuk melakukan sebuah panggilan. Beberapa kalimat yang disertai jeda terlontar dari mulutnya. Tak lama kemudian sambungan telepon terputus, diletakkan benda pipih itu ke dalam saku. Seorang wanita dengan rambut tergerai dan sial, dia memakai gaun biru tua. Adnan lupa memberitahu agar Casia memakai gaun selain warna itu.

“Tumben kamu nggak telat?” tanya Casia penuh sindiran sambil membuka pintu mobil dan duduk di samping kekasihnya.

“Kita jangan ke restoran biasanya, ke tempat lain aja.”

“Nggak mau, kita udah sepakat dari kemarin bakal makan di sana. Memangnya kenapa, sih?”

“Aku cuma bosan aja, Cas.”

“Alasanmu nggak masuk akal, Nan. Udah, ayo cepet berangkat!”

“Cas,” panggilnya memelas, “sekali aja, ya!”

Casia memegang pegangan pintu, mengancam hendak turun jika Adnan tidak menuruti kemauannya. Lagi pula, Adnan tidak memberikan alasan yang spesifik kenapa dia menolah restoran itu.

“Kamu takut ketahuan pacarmu yang lain?”

“Kenapa kamu selalu ngomong kayak begitu sih, Cas? Kamu selalu menuduhku—”

Perkataan Adnan terputus karena ia menyadari nadanya sudah naik satu oktaf, dihirupnya napas panjang lalu melanjutkan,

“OK, kita berangkat ke restoran itu sekarang, ya. Jangan berpikir macam-macam, kamu nggak mau hari spesial ini rusak, ‘kan?”

Wanita itu mengangguk samar. Tanpa menunggu lama lagi, mobil itu telah membaur bersama hiruk pikuk kendaraan yang mendesak untuk dapat melintas di jalanan. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya, hanya lantunan lagu kesukaan Casia yang memenuhi mobil. Menit demi menit mereka habiskan hingga bertemu dengan jalanan lengang yang menandakan jarak menuju restoran tak lebih dari dua ratus meter. Adnan masih mengendarai dengan tenang sampai sekelibat hitam melintas di depan mobilnya. Refleks diinjaknya rem sekuat tenaga untuk menghindari segala kemungkinan terburuk.

Beruntung, Adnan maupun Casia tidak terluka. Wanita itu hanya terkejut dengan apa yang terjadi baru saja.

“Nan, kamu kenapa rem mendadak?”

“Kamu nggak lihat barusan ada orang yang tiba-tiba nyeberang di depan mobilku? Jelas aku harus ngerem, Cas.”

“Nggak ada, Nan, nggak ada siapa-siapa. Jalanan sepi, Cuma ada kendaraan aja dari tadi. Aku merhatiin jalan kok, nggak ada yang mau nyeberang.”

“Sumpah, Cas. Aku lihat sendiri, orangnya pakai baju hitam.”

“Kalau memang ada, seharusnya orang itu masih ada di sekitar sini, Nan. Jangan ngelantur kamu!”

“Cas, aku mengalami hal aneh akhir-akhir ini. Percaya atau tidak, kita sedang berada di pusaran waktu. Dan kita akan terus berakhir mati kalau nggak berusaha menghindari pusaran ini!”

“Kamu ngomong apa sih?”

Suara klakson dari belakang mereka mulai menjerit satu persatu, memprotes mobil di depannya yang berhenti sembarangan. Adnan berdecak kesal sambil menjalankan mobilnya untuk menuju restoran yang mereka ingin kunjungi. Di kursi penumpang, Casia menggeleng heran dengan tingkah kekasihnya yang aneh sejak tadi. Keheningan kembali menyelimuti mereka disertai dengan ketegangan, tak ada yang memulai obrolan untuk mencairkan suasana hingga mobil kembali berhenti di tempat parkir. Kedunya turun dari kendaraan, saat berjalan menuju pintu utama, Adnan tanpa sengaja melihat ke jalanan dan didapatinya lagi sosok berjubah hitam itu. Raut muka Adnan berubah, diliriknya jam tangan yang menunjukkan pukul 11.45 dan pria itu semakin merasa gusar.

“Kenapa, Nan?” tanya Casia sambil menepuk bahu kekasinya pelan.

Tepukan itu seketika membuatnya sadar dan sedikit gugup menjawab pertanyaan yang dilontarkan padanya. Ia tersenyum dan menjawab,

“Nggak apa-apa. Ayo masuk!”

Yang harus dilakukan oleh Adnan adalah mempertahankan Casia selama satu jam lebih untuk tetap berada di dalam restoran. Jangan sampai ada pertengkaran apa pun yang membuat wanita itu mulai marah-marah hingga memaksa diri keluar dari restoran. Kini Adnan harus memutar otak dan melayani kekasihnya dengan baik. Digandengnya tangan Casia dengan lembut, tersenyum padanya dengan senyuman paling tulus. Memilihkan meja di pojok yang lebih privat dan jauh dari jendela, saat hendak duduk pun, Adnan menarikkan kursi supaya sang kekasih tidak perlu repot-repot menarik sendiri.

Dilambaikan tangan Adnan pada pelayan untuk meminta menu, setelah menekuri lembaran itu beberapa saat, ia bersuara,

“Kamu mau pesan apa, Cas?”

“Kamu aja yang pesankan.”

Pria itu memandang ke arah pelayan lalu menyebutkan salah satu menu andalan restoran tersebut, dua porsi steik, jus alpukat dan mangga. Setelah mencatat pesanan tersebut, si pelayan meninggalkan keduanya dan menuju ke dapur. Meja persegi yang tak begitu besar ini sangat cocok bagi pasangan yang berkencan, memudahkan Adnan untuk meraih tangan Casia, mengelusnya dengan lembut.

“Selamat hari jadi yang kedua, Sayang.”

Lawan bicaranya mengeringkan mata jahil. “Bodoh, sangat tidak romantis. Bahkan tidak ada bunga.” Adnan hanya tersenyum, hal-hal seperti itu sudah tidak terpikirakan olehnya,

“Kenapa kamu aneh sejak tadi? Kamu nggak sehat, Nan?”

“Aku sehat, kok. Cuman, apa yang aku katakan memang benar, nyata. Aku ngerasain sendiri, Cas.””

Kamu bilang kita ada di pusaran waktu?” tanya Casia yang dibalas anggukan cepat.I

“Itu artinya kejadian akan terus berulang kan? Aku nggak ngerasain itu, Nan. Itu cuma halusinasimu atau mimpi aja.”

Adnan melepaskan tangan Casia dari genggamannya, menarik napas dan menyandarkan punggung pada kursi.

“Tapi gimana kalau kejadian ini berulang terus di aku? Selalu berakhir dengan kematian?”

“Kematian apa? Siapa yang akan mati?”

“Kita, dalam pusaran waktu ini, udah dua kali kita mati, lalu–”

“Lalu hidup lagi, lalu mati, hidup lagi, dan seterusnya?” Kalimat Casia disertai dengan tawa tidak percaya.

“Itulah kenapa aku pengen menghindari semua kejadian yang persis dari pusaran waktu itu. Aku memakai pakaian berbeda, membawa mobil, meminta untuk ganti tempat, dan lain-lain, semua itu usahaku untuk memecahkan masalah ini, Cas.”

“Masalahnya ada di kamu, Adnan!”

“Kenapa kamu nggak pernah perca—”

“Permisi, makanan anda sudah siap,” ucap seorang pramusaji dengan kereta dorong penuh hidangan.

Dua menu utama telah dipindahkan ke meja, disusul dengan dua gelas minuman yang mencetak titik-titik embun di permukaan kacanya. Setelah pramusaji benar-benar meninggalkan mereka, keduanya mulai menikmati makanan. perbincangan kecil dibuka oleh Adnan, namun atmosfer dingin kembali menyelimuti keduanya. Hingga sajian benar-benar habis, harapan Casia akan hal-hal romantis yang akan dilakukan oleh Adnan padanya, ternyata tidak terjadi dan mungkin tidak akan pernah terjadi.

“Aku pengen jalan-jalan di luar, melihat-lihat atau mungkin beli makanan kaki lima,” ujar wanita itu tanpa memandang pada lawan bicaranya, sepasang mata itu menjelajah ke luar jendela.

Casia tahu bahwa Adnan akan membantah pemintaannya, sebelum bantahan itu keluar dari mulutnya, ia menambahkan.

“Tidak ada penolakan, atau aku keluar sendiri aja.”

Tanpa menunggu lebih lama, ia membawa tas dan bergegas keluar dari restoran. Mau tidak mau, Adnan mengalah dan mengikuti Casia, menggandeng tangannya dengan erat. Hanya ini yang bisa dilakukannya agar wanita itu tidak sembarangan pergi. Keduanya menyusuri trotoar, melihat beberapa pedagang kaki lima yang menawarkan dagangan kepada pejalan kaki.

“Di seberang kayaknya ada penjual makanan enak. Ayo ke sana!”

“Tidak, Cas!”

“Kita cari zebra cross biar lebih aman.”

Tampang Adnan sudah tidak karuan, namun langkahnya tetap mengikuti Casia yang menariknya sejauh 500 meter. Di bawah lampu lalu lintas mereka menunggu lampu merah menyala. Sekali lagi pria itu melihat jam tangan dan sempurna, pukul 13.00 tepat. Seharusnya ini adalah waktu yang aman. Jam kota berdentang bersamaan dengan lampu hijau berubah menjadi merah, Casia merasa tidak sabaran dan menarik tangan Adnan untuk segera menyeberangi jalan.

Langkah demi langkah di atas garis hitam putih di atas aspal dilewatinya bersama beberapa penyeberang jalan lainnya. Adnan masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah pusaran waktu sudah benar-benar berhenti? Apakah ia dan Casia benar-benar selamat dari kematian?

Masih bergelut dalam pertanyaan-pertanyaan yang terjebak dalam pikiran, Adnan hanya menurut saja ketika Casia menariknya ke sana ke mari untuk melihat jajanan kaki lima. Didengarnya sang kekasih sedang menanyakan harga dari macam-macam makanan tersebut, lalu secara mendadak telinganya berdenging. Saat membalikkan badan, Adnan menangkap lagi sosok berjubah hitam itu berdiri tak jauh dari mereka, menunjuk sesuatu di tengah jalan. Mata Adnan mengikuti arah tangan sosok itu, sebuah mobil boks yang sedang melaju dengan kecepatan normal. Baru saja ia hendak mengabaikan hal itu, dalam sepersekian detik, ledakan dari boks mobil menyerang pendengaran. Denging pada telinganya hilang bersamaan dengan tubuhnya yang ambruk ditimpa oleh manusia atau benda-benda mati lainnya. Adnan tidak bisa merasakan atau melihat dengan jelas. Rasanya tubuh itu semakin remuk, ditusuk-tusuk, hingga sesuatu yang besar seperti menimpanya. Lalu tubuh itu menjadi seringan kapas, penuh kenyamanan, layaknya berbaring di atas kasurnya seperti pagi tadi.

Ilustrasi: Adi Faiq

Editor: Fatmawati

Leave a Reply