Till Death Do Us Part (Bagian 4)

Bukan kau yang seharusnya mati!

Pusaran waktu tidak akan berakhir jika kau mati.

Sekuat tenaga Adnan mengisi paru-parunya dengan oksigen saat kedua matanya berhasil terbuka. Ledakan itu seperti berasal dari dada dan membuat tubuhnya menyisakan keping daging dan darah. Beberapa menit pria itu merasakan tubuhnya, meyakinkan diri bahwa pagi ini ia masih hidup. Sulit untuk menguraikan pusaran waktu kali ini, hanya sosok berjubah hitam yang lagi-lagi bersarang di pikirannya. Dua kalimat yang ia dengar entah melalui mimpi atau apa pun itu, selalu mengusik rasa penasarannya. Jika bukan dirinya yang mati, lalu siapa? Bukankah dalam ledakan itu banyak orang yang mati?

Atau aku tidak boleh mati?

Rasa sakit lagi-lagi merayapi tubuhnya saat berusaha bangkit dari tempat tidur. Sepertinya Adnan bisa menyimpulkan sesuatu dari sini, kondisi fisiknya makin menurun seiring ia mengalami kematian berulang dalam pusaran waktu tersebut. Sebelum benar-benar sekarat, ia harus keluar dari pusaran waktu. Adnan tidak mau hidupnya habis dengan cara konyol. Namun, harus dimulai dari mana? Apa yang harus dilakukan jika mempercepat atau mengulur waktu dalam setiap rangkaian kejadian ini, tapi ujungnya selalu pada kematian?

Pukul sebelas tepat, Adnan memutuskan memakai sisa waktunya untuk menganalisis semua kejadian yang dialaminya, alih-alih menjemput Casia tepat waktu. Pertama mulai dari kematian yang pertama terjadi tepat pukul satu, tidak yakin juga apakah ia mati sendirian atau bersama Casia. Baru kematian yang kedualah ia memastikan kematiannya bersama sang kekasih, di jam, tempat, dan penyebab yang sama. Dari kejadian pertama dan kedua, saat itu Adnan berpikir jika bisa menghindari jam 13.00 maka bisa menghindari kematian, ternyata salah. Kematian ketiga terjadi setelah jam 13.00 lewat, itu artinya ada satu kematian yang tidak bisa dihindari meski berbeda tempat dan waktu.

Adnan termenung dalam pikirannya, ia bangkit menuju balkon untuk mencari udara segar di tengah rasa sakit yang ditahannya.

“Kematianku? Atau kematian siapa?” gumamnya.

Cahaya matahari yang mulai menyengat masuk ke pori-pori Adnan, memberikan kehangatan setelah rasa tegang yang kuat menguasai tubuh. Selagi pikirannya bekerja keras, matanya menjelajah sekitar. Helaan napas lolos dari mulut ketika sosok berjubah itu muncul lagi, berdiri tegap di persimpangan jalan. Adnan terus memerhatikan sosok itu, yang selalu muncul kapan saja dan di mana saja dalam pusaran waktu ini. Terus ditatapnya sosok itu hingga tanpa sadar dari balik jubah, sosok itu mendongak dan matanya jatuh tepat ke retina Adnan. Sepersekian detik ia terkejut, lebih ke takut akan sesuatu yang bisa masuk ke dalam dirinya melalui pandangan tersebut.

“Hei, ngapain kamu ngeliatin gitu? Apa? Mau ngancem? Jangan seenaknya ya, muncul dan ngilang sesuka hati. Kalau mau neror, beraksi saja sekalian!” seru Adnan tanpa sadar, tatapan mata itu benar-benar mengintimidasi sekaligus memberikan keberanian baginya untuk meneriaki.

“Hei, anak muda! Kamu kenapa?”

Dari arah yang berlawanan, seorang petugas keamanan yang sedang berkeliling di tempat parkir meneriakinya.

“Siapa meneror siapa?”

Memandang petugas keamanan tersebut, Adnan seakan mengadu padanya.

“Lihat orang di persimpangan jalan itu, Pak! Yang memakai jubah hitam, dia aneh dan selalu berada di sekitarku. Bisa jadi dia punya niat jahat!”

“Jubah hitam apa? Nggak ada orang di sana.”

Mendengar jawaban tersebut, Adnan mengernyitkan dahi seraya mengalihkan pandangan ke persimpangan jalan lagi. Benar, sosok itu sudah hilang.

Dagu Adnan rasanya sudah jatuh ke lantai, tanpa mengindahkan pertanyaan petugas keamanan, ia masuk ke kamar.

“Nggak salah lagi, itu bukan manusia,” katanya sambil kembali melemparkan tubuh ke kasur. Memejamkan mata sambil menguraikan kekusutan pikiran.

Dering ponsel yang tergeletak di meja samping ranjang sudah menjerit-jerit sedari tadi, tetapi Adnan masih dengan malas meraihnya. Tanpa melihat nama, diusapnya layar benda tersebut lalu didekatkan ke telinga. Seketika sebelah telinga Adnan diserang oleh suara cempreng yang tak asing baginya. Sial, Casia! Seusai mendengar kalimat ceramah, ia langsung bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan bersiap diri. Tiba-tiba Adnan menemukan ide untuk menghampiri sosok itu jika ia melihatnya di jalanan tempat ia akan menyeberang seperti pada pusaran waktu yang pertama.

Pukul dua belas, pria itu sudah siap keluar dari gerbang dan menyusuri trotoar kota yang tak begitu ramai. Langkah kaki Adnan pelan, seakan menikmati suasana kota. Namun, yang benar adalah ia memerhatikan sekitar agar bisa menemukan sosok berjubah hitam itu. Sampailah ia di penyeberangan jalan, beberapa orang berdiri di tepi jalan untuk menunggu kesempatan melewati jalan yang penuh dengan mobil-mobil. Dua menit, tiga menit, ditunggunya dengan sabar sambil melihat sekeliling untuk mencari sosok itu, tetapi tak ditemukan. Ketika ia mulai turun ke jalan untuk menyeberang, sebuah suara berat menghampiri telinganya. Suara yang menginterupsi kaki untuk berhenti dan cepat-cepat berbalik.

“Kau mencariku?” Sosok berjubah hitam itu bertanya.

Emosi Adnan sedikit naik, amarah yang dihasilkan dari rasa lelahnya akibat pusaran waktu yang belum berakhir, sangat melelahkan. Sosok itu tinggi, mungkin 180-an senti meter. Tanpa pikir panjang ditariknya leher jubah itu seakan Adnan mengajaknya untuk beradu kekuatan.

“Kapan ini akan berakhir? Hentikan permainanmu! Aku sudah tau kalau ini semua adalah permainanmu, jadi tolong hentikan sekarang juga!”

“Hanya kau yang bisa mengakhiri pusaran waktu ini, karena kau sendiri yang menciptakan pusaran waktu.”

Genggaman tangan Adnan pada leher jubah hitam itu mengendur, lalu dilepas sepenuhnya. Bagaimana bisa sosok itu mengatakan bahwa pusaran ini adalah dirinya yang menciptakan.

“Bagaimana caraku mengakhiri?”

“Tentu saja dengan bertahan hidup, repetisi yang kau alami itu dimulai ketika kau mati, kenapa tidak mencoba dengan bertahan hidup?”

“Sudah kucoba, tapi kematian tetap datang di waktu dan tempat yang nggak ketebak.”

“Itu karena kematian itu memang tidak bisa dihindari oleh manusia, tapi kematian hari ini bukanlah milikmu, milik orang lain.”

Terdengar bisik-bisik dari sekitar, mungkin sebagian orang yang mendapati Adnan berbicara sendirian tapi enggan untuk menegurnya. Adnan yang masih lekat menatap wajah sosok berjubah hitam yang tertutup bayangan gelap, mundur satu langkah. Menengok kanan dan kiri untuk mengurangi rasa malunya diperbincangkan oleh beberapa orang. Namun, saat kembali meluruskan pandangan, sosok berjubah hitam itu sudah hilang dari hadapannya, tanpa suara dan tanpa jejak. Adnan mengembuskan napas seraya mengusap kasar wajahnya, ia benar-benar terlihat seperti orang gila yang berbicara sendiri.

Sembari melanjutkan langkahnya menuju restoran tempat ia bertemu dengan Casia, Adnan mencerna secara perlahan perkataan dari sosok berjubah hitam tersebut. Hanya dia yang bisa menghentikan pusaran waktu dengan cara bertahan hidup, sedangkan kematian akan tetap datang tapi bukan pada dirinya. Lalu pada siapa? Pertanyaan ini tetap saja kembali seperti saat pusaran waktu sebelumnya. Namun, satu hal yang bisa Adnan simpulkan, bahwa ia harus hidup, kematian ini bukan untuknya.

Memasuki restoran, Adnan sudah bisa mendeteksi keberadaan Casia dan segera menghampirinya. Masih dengan gaun biru dan geraian rambut yang membuatnya terlihat cantik dan anggun. Ia segera menghampiri sang kekasih yang sudah duduk menunggu di set meja dekat jendela. Senyumnya mengembang saat berhasil duduk di depan Casia.

“Aku minta maaf banget, tadi ada kecelakaan kecil di jalan. Kamu udah tunggu lama?”

“Kecelakaan kecil bertemu dengan kekasihmu yang lain?”

Adnan menghela napas, mulai lagi, deh, batinnya.

“Enggak, Cas. Gimana bisa aku punya kekasih yang lain, sedangkan kekasihku yang ini sedang menunggu pangerannya datang untuk merayakan hari jadi? Tapi maaf, lagi-lagi aku lupa nggak bawa apa-apa.”

Meski terjadi beberapa perdebatan di antara keduanya, Adnan masih bisa mengendalikan situasi dan kondisi. Namun, ia tidak bisa mengendalikan Casia yang tetap bersikeras untuk jalan-jalan di luar setelah menyantap hidangan. Mau tidak mau, Adnan harus menuruti kemauan tersebut. Keduanya keluar untuk berjalan-jalan. Jam tangan di pergelangan tangan Adnan menunjukkan pukul 13.15 dan mereka tidak boleh berjalan menuju ledakan. Setelah Casia puas membeli beberapa makanan kaki lima, diajaknya wanita itu ke jembatan kota untuk menikmati pemandangan.

“Kenapa harus ke sana sih, Nan? Aku pengen jalan-jalan ke sana saja!”

Di puncak kesabaran Adnan memberikan alasan-alasan, ia langsung mencetus.

“Akan ada ledakan di sana, entahlah, mungkin dari kompor gas atau korsleting listrik. Intinya jangan ke sana.” Sambil menarik lengan Casia yang masih terbengong dengan perkataan Adnan.

Namun, wanita itu kembali keluar dari kendali Adnan. Dilepaskan genggaman itu dan berjalan sendiri ke arah yang berlawanan.

“Tau dari mana kamu kalau ada ledakan? Kamu bukan peramal, Nan,” ucapnya tanpa membalikkan badan.

“Casia, tolong satu kali ini saja!” serunya sambil menyusul langkah Casia.

Casia berhenti. “Jangan coba-coba untuk mengaturku, biar aku pergi sendiri.” Ia melanjutkan jalan. Sedikit lebih cepat langkahnya, entah tergesa atau senang karena Adnan tak lagi mengejarnya.

Kini Casia terlihat mendekati jalan raya, ada kegelisahan yang menghampiri dada Adnan. Kegelisahan tersebut bercampur dengan keterkejutan yang luar biasa karena ia bisa melihat dengan jelas sosok berjubah hitam sedang berdiri di tengah jalan, seakan menyambut Casia dengan bahagia. Selain sulit bergerak yang entah disebabkan oleh apa, Adnan urung melangkahkan kaki ketika suara serak dan berat itu kembali muncul.

Bukan kau yang seharusnya mati.

Kau harus bertahan hidup.

Adnan kelabakan setelah mendengar suara tersebut. Bagaimana tidak, benang merah sudah muncul di kepalanya. Casia? Casia yang mati? Nggak boleh, dia nggak boleh mati! Tepat setelah Casia menyatu dengan sosok jubah hitam itu, sebuah truk menerobos. Tak peduli di depannya terdapat sedan atau motor yang sedang berhenti, kendaraan besar itu tetap melaju tanpa peduli ada beberapa orang yang menyeberang jalan, termasuk Casia. Dalam sepersekian detik, tubuh Casia seperti dilahap truk lalu terpental hampir tiga meter jauhnya. Terbanting ke aspal yang mana masih bisa Adnan bayangkan rasa sakitnya.

Detik itulah Adnan bisa lari, berteriak histeris memanggil nama sang kekasih. Bersimpuh untuk memeluk tubuh tanpa nyawa dengan darah yang terus mengucur dari tempurung kepala. Rasa bersalah menyelimuti Adnan seperti kabut pegunungan yang membutakan mata. Berdentam hebat jantungnya, berharap setelah ini akan ada ledakan besar, ternyata tidak ada. Pusaran waktu telah berakhir. Dan kematian itu adalah milik Casia.

 

Editor: Fatmawati

Ilustrasi: Adi Faiq

Leave a Reply