Kami Belum Lupa: Aksi Mengungkit Peristiwa Kelam di Tengah Gelapnya Ketidakadilan

Jember tanggal 21 bulan Mei, sekelompok remaja berdiri tegap di tengah arus lalu lintas kota, dengan memegang poster aksi, salah satunya bertuliskan “27 tahun kami belum lupa”. 27 tahun lalu terjadi peristiwa reformasi dengan lengsernya presiden Soeharto. Lantas mengapa mereka tetap mengungkitnya?,

Koordinator Lapangan (Korlap), Tata menyampaikan, “Bahwa aksi ini diinisiasi sebagai bentuk peringatan khususnya atas tragedi Semanggi dan Trisakti.”

Para massa aksi menyalurkan suaranya lewat poster-poster dan pembacaan orasi maupun puisi sebagai bentuk ketidakpuasan atas tragedi semanggi dan Trisakti. Aksi berlangsung dengan damai dan mendapatkan pengawalan dari aparat kepolisian.

Menjelang maghrib, mereka menata foto para jenderal dengan menaburkan bunga dan dilanjutkan dengan aksi membakar foto para jenderal tersebut. Aksi tersebut sebagai bentuk kekecewaan terhadap para jenderal yang telah melakukan pelanggaran HAM berat.  Salah satu jenderal yang dikontraskan pada aksi ini yaitu Prabowo Subianto sebagai wujud bagaimana seorang pelanggar HAM berat dapat menjadi presiden di era ini.

Foto ini menangkap suatu momen aksi perlawanan. Aksi ini bukan sekadar bentuk ekspresi dan panjat sosial semata, tetapi juga ruang untuk merawat memori kolektif peristiwa kelam 98. Mereka bersuara bukan hanya untuk kelompoknya saja, tetapi mewakili yang tak lagi bisa bersuara dan mereka yang masih terus menuntut keadilan.

Kedua foto tersebut menunjukkan bahwa aksi mereka tidak ricuh, tetapi justru itulah cara mereka berbicara. Di antara poster-poster, cahaya lilin, dan taburan bunga yang melingkari foto para korban kerusuhan, mereka sedang menyampaikan, bahwa ingatan pahit tidak bisa dibungkam dan dikubur begitu saja.

Membahas tentang konteks historis bangsa, Indonesia masih dihadapkan dengan utang-utang kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas. Fotografi menjadi media yang tak hanya menangkap momen, tetapi juga menyimpan luka dan harapan peristiwa gelap gulita lampau yang masih membutuhkan cahaya lampu penerang berupa keadilan.

Aksi para remaja memuat ingatan untuk setiap gulita, ada nyawa yang bersuara meminta untuk tidak ditelan lupa.

 

Fotografer: Ardhan Firdaus

 

 

Pers Tegalboto

Menuju Pencerahan Masyarakat

Leave a Reply