Istriku Menyiapkan Sarapan

aku dibangunkan oleh bau bumbu kuah sup yang ditumis istriku di dapur. aku kurang hafal bumbu dapur apa saja yang diraciknya, tapi yang aku tahu sebelum dijerang ke wajan panas, tentulah ia semula telah menghaluskannya di cowek tanggung yang ia tawar di pasar minggu.

anak sulung tidak lagi ada di ranjang, ia mesti sudah dalam gendongan ibunya. hampir genap dua tahun lalu kala ia lahir, aku sempat memercayai omong kosong yang kusumbar, “setiap pagi, akulah orang pertama yang akan mendengar tangisnya bangun dari tidur.”

bau bumbu-bumbu yang kuhidu disela oleh suara si sulung yang terdengar merajuk kepada ibunya mengandalkan bahasa yang masih pelat ia eja. panggilan istri tak kunjung terdengar meski nyaris pukul tujuh pagi. di meja samping ranjang bisa kulihat beberapa semut berusaha menaiki lepek cangkir kopi sisa ampas.

sejak perempuan itu mengandung lagi anakku kedua, sarapan pagi sering telat tersaji. seyogyanya tiap pagi ia membangunkanku untuk sarapan. seperti pagi ini, aku bangun ketika sarapan masih belum saji. sesekali harus melunak karena umur kandungannya sulit membuatnya tidur nyenyak.

apa pagi akan pergi tanpa aku meminum kopi? waktu berlalu menyulut geram

sebentar, air masih kueram

geruh, kau menyiakan waktu pagiku!

sulung menangis, istriku mengiris asa di telenan untuk campuran kuah. tak ada pilihan, ia harus membendung air mata anaknya sekaligus tetap segera memenuhi urusan perutku

hidangan tersuguh prematur daripada harus kulayangkan geru ketiga

sarapan siap, mas

ia mencentong nasi dari bakul sesuai kadar asupanku. hanya dia yang tahu, tak pula aku. nasi kulahap bersama kuah sup, dahaga dan amarah berangsur susut. ia menyuruhku habiskan saja, sementara ia berjibaku dengan anak-anak rewel; di dekap peluk maupun di rahim perut. alisnya layu, matanya meringkuk kedinginan seperti seorang yang kuyup kehujanan

melahap hidangan masakannya nyaris sama dengan sensasi yang kudapat saat melahap tubuhnya

ia mulai menyuapi si sulung

tak lama kemarin ibu mertua bertandang ke rumah, mengurus perpanjangan sabar untuk istriku. mengunjungi keletihannya menjadi istri dan merawat anak. ibu mertua membawakan dalam tenong, sepotong cerita tetangganya yang pagi-pagi digampar suami lantaran secangkir kopi dan selepek senyum belum tersaji

istriku beruntung karena aku tak pernah mendaratkan tempeleng ke pipinya demi keberlangsungan rekah lesung dan kembang bibir

sajian telah tandas, istriku mulai membereskan kembali sepiring kebahagiaan yang mengenyangkan itu ke dapur

sebelumnya, ia sodorkan secangkir kopi pekat sepekat matanya, berharap aku dapat menyesap tangisnya sampai surut

sebatang kretek akhirnya kusulut

 

Karya: Haikal Faqih

Ilustrasi: Risma Ayu Angraini

 

Pers Tegalboto

Menuju Pencerahan Masyarakat

Leave a Reply