Till Death Do Us Part (Bagian 1)

Denting sendok beradu dengan cangkir menjadi satu-satunya suara yang memenuhi dapur. Benda metal itu berputar-putar membuat air berwarna merah cerah membentuk pusaran di tengah cangkir. Muka pria berusia seperempat abad itu masih menampakkan rasa kantuk dan kemalasan yang enggan untuk pergi. Dengan tidak fokus, air tehnya menciprat ke tangan. Sebuah decakan lolos dari bibirnya, diikuti langkah menuju wastafel untuk mencuci tangan. Sedetik kemudian kedua telapak tangannya mengusap celana piyama untuk mengeringkan air. Kembali pada cangkir teh, diambilnya benda tersebut lalu beranjaklah ia menuju sofa di depan layar televisi.

Pendaratan pantatnya mulus di sofa, menikmati cahaya matahari yang masuk dari dinding kaca di rumahnya. Disesapnya cairan merah cerah itu untuk memulai harinya yang singkat di hari libur. Bagaimana tidak, ketika ia membuka mata, jamnya sudah menunjukkan angka sebelas. Enam jam produktifnya hilang. Akhir pekan ini seharusnya bisa ia gunakan untuk mengistirahatkan diri dari tumpukan pekerjaan dan pikiran-pikiran yang membebaninya sejak kemarin malam. Sambil bersandar, ia pejamkan mata untuk menguraikan pikiran-pikirannya yang semrawut.

Ting ….

Dibukalah matanya setelah mendengar notifikasi dari ponsel. Sebuah pesan tertulis di sana, Kuharap kamu tidak lupa dengan janji makan siang ini. Sial, ia hampir saja lupa dan malah bersantai menyesap teh di sofa yang nyaman ini. Cepat-cepat pria itu menuju kamar mandi dan bersiap untuk menemui pengirim pesan tersebut. Teh yang masih mengepulkan asap tak lagi dihiraukan, cahaya matahari yang masuk tak lagi dinikmati.

Dalam sepuluh menit pria itu sudah mengubah penampilan dari piama menjadi celana kargo khaki, atasan kaus hitam dengan jaket senada dengan celana. Untungnya, tempat yang telah disepakati tak jauh dari tempat tinggalnya sehingga bisa ditempuh dengan jalan kaki. Meski agak waswas dengan seseorang yang akan ditemui, pria itu berusaha untuk tetap santai sepanjang menyusuri trotoar. Melihat sekeliling dengan kedua tangan di dalam saku. Hari ini jalanan tak begitu ramai, pejalan kaki juga tak sebanyak akhir pekan sebelumnya. Suasana yang pas untuk menyelesaikan sesuatu yang belum tuntas.

Sekilas diliriknya pergelangan tangan kiri, jam menunjukkan pukul 12.45. Restoran sudah terlihat, ia harus menyebrangi jalan untuk sampai di sana. Saat menuju zebra cross, pria itu melihat seseorang dengan pakaian jubah hitam, mukanya nyaris tak terlihat karena tertutup tudung dan kepalanya menunduk. Orang itu tak bergerak sama sekali, sempat pikirannya menebak kalau orang itu membutuhkan bantuan menyebrangi jalan.

“Halo, apa kamu perlu kubantu untuk menyebrang? Kebetulan aku juga akan ke sana, mungkin kita satu arah,” tawar pria itu.

Namun, orang yang diajaknya bicara tak memberikan respons. Orang yang misterius. Bukan, bukan, lebih dari misterius, orang ini cukup menakutkan. Karena tidak ingin berurusan lebih lanjut, ia meneruskan perjalanan, meninggalkan orang itu sendirian di seberang jalan.

Meneruskan perjalanan yang sedikit terburu-buru, ia hampir menyenggol beberapa orang yang berjalan berlawanan di trotoar. Akhirnya restoran sudah di depan mata, setelah masuk, matanya menjelajah sekitar dan menangkap sosok wanita cantik bergaun biru tua selurut dengan rambut bergelombang yang dibiarkan tergerai. Duduk di sebuah set meja dengan dua kursi, meja tersebut sudah dihiasi dengan beberapa hidangan. Pacu jantungnya sedikit naik, bukan karena jatuh cinta, melainkan ia terus menebak-nebak pertengkaran seperti apa yang akan menjadi pembuka atau mungkin hingga penutup pertemuan mereka. Ia mengatur napas sebentar lalu menghampirinya.

“Maaf membuatmu menunggu, aku bangun lebih siang hari ini. Seharusnya aku memasang alarm lebih pagi,” alibinya.

“Lupakan saja! Lagi pula, kamu mana pernah peduli padaku. Makan siang seperti ini saja tidak akan kamu setujui kalau aku belum mengemis-ngemis,” kata seorang perempuan yang usianya tak jauh di bawahnya, nadanya sinis dengan tawa tipis.

“Jangan berlebihan, Casia. Kita bukan remaja yang baru kasmaran. Kita sama-sama disibukkan oleh pekerjaan, bukan lagi main-main.”

“Aku tahu, Nan. Aku mengerti kalau pekerjaanmu akan selalu menjadi prioritas pertama. Kesibukan pasti membuat pola makanmu tidak teratur. Aku sudah memesankan makanan kesukaanmu, ayo makan!” ajaknya dengan penuh senyuman. Namun, pria yang disapa Nan itu tahu bahwa sesaat lagi akan ada amarah yang meledak.

Casia menunggu itikad baik dari kekasihnya, akan tetapi yang ditunggunya tak segera diucapkan oleh pria itu. Kedua tangan yang semula sibuk dengan sendok dan garpu, kini diletakkan kedua benda itu keras-keras di piring. Suara dentingnya menarik perhatian orang-orang di sekeliling. Muka Casia sudah memerah, kecewa karena respon yang didapat tak sesuai dengan harapan. Apa susahnya, sih, minta maaf?

“Jangan mulai lagi, Cas. Kita bukan sedang berada di rumahmu atau apartemenku,” ucapnya tenang.

“Nan, jika kita sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tidak lagi memprioritaskan pasangan, satu pihak mengemis pada pihak lain, apa gunanya kita berpacaran? Atau sebenarnya ini hanya dalih untuk menutupi kebusukanmu dengan wanita lain? Katakan, Adnan!” Wanita itu bangkit dari duduk, suaranya naik satu oktaf, satu telunjuknya mengacung pada sang kekasih. Hampir seluruh pasang mata tertuju pada mereka, membuat Adnan kikuk, juga malu.

Lagi, tuduhan itu keluar dari Casia. Adnan masih berusaha untuk mengendalikan keadaan.

“Kenapa kamu selalu menuduhku selingkuh, Cas?  Kamu sendiri tahu, pekerjaanku sedang nggak baik. Aku terancam diberhentikan!”

Tanpa menunggu lama, wanita itu meraih tas selempang lalu berkata, “Kita putus saja, Nan, aku udah lelah sama kamu.” Setelah deretan kata itu lolos dari kerongkong, ia bergegas meninggalkan meja.

Beberapa menit Adnan mencerna dan berpikir di kursi, ia mengacak rambutnya frustrasi. Sesuai dengan prediksi, pertemuan ini tetap akan diakhiri dengan pertengkaran. Tarikan napas dalam memenuhi paru-paru Adnan, ketika udara tersebut dikeluarkan, pandangannya bersirobok ke seberang jalan. Orang dengan jubah hitam yang tadi ditemuinya masih di sana, wajahnya sedikit terangkat dan tatapan matanya tajam dan dingin, rasanya seperti menjadi anak kecil yang sedang diintimidasi. Siapa sih orang itu? Aneh.

Dalam sepersekian detik, Adnan mengingat Casia dan sadar bahwa ia harus mengejarnya.  Tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang mungkin berpikir dirinya sangat bodoh dan kejam karena membiarkan kekasihnya berlari sendirian. Adnan hanya ingin meraih Casia agar tidak meninggalkannya. Sesudah keluar dari restoran, ia mulai menjelajah lewat penglihatannya, memindai sekitar untuk menemukan biru tua yang seharusnya mencolok jika masih berada di sini. Benar, Casia berjalan, hampir berlari dengan rambut bergelombangnya yang menari seiring gerakan tubuh. Lamat-lamat Adnan mengingat sesuatu, sial, gaun biru tua itu adalah hadiah pertama yang ia berikan pada Casia. Tunggu, tanggal berapa sekarang?

“Mati saja kamu, Nan, kenapa bisa tidak ingat dengan hari penting ini?” gerutunya sembari menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Casia, berhenti! Dengarkan aku, sudahi ini, aku tahu aku yang salah, Cas.” Pria itu meraih tangan Casia cepat, membuatnya hingga berbalik badan.

“Aku tidak peduli lagi dengan pengakuan salahmu, Nan, karena kamu bahkan tidak ragu melakukan kesalahan lagi dan lagi meski kamu sudah mengakui kesalahanmu. Kurasa kita memang sudah nggak cocok, nikmati pekerjaanmu, Nan, juga wanita lain yang mungkin sudah kamu temukan,” jelasnya.

Casia melepaskan genggaman Adnan dari pergelangan kirinya dengan sedikit kasar, menghempas tangan pria yang masih dicintainya itu, kemudian berbalik badan dan bergegas lebih cepat.

“Nggak ada wanita lain, Cas, Cuma kamu!” terak Adnan sambil mencegah Casia pergi.

Lagi-lagi Casia merasakan pergelangannya ditarik lagi, tetapi dengan keras ia menepis tangan pria yang sudah menyakitinya.

“Hentikan, Nan! Jangan ganggu aku dan biarkan aku pergi.”

Tanpa menunggu lama, Casia menyeberang jalan agar Adnan kesulitan untuk mengejarnya lagi.

“Cas, apa-apaan kamu? Jangan menyebrang di sini, terlalu berbahaya. Kembali, Cas!”

Tahu teriakannya sudah diabaikan, jalan satu-satunya hanyalah tetap dikejar. Langkah panjang Adnan mengikuti jejak Casia, berniat membawa wanita itu kembali. Ia akan menggendongnya jika perlu, karena Casia pasti tetap akan menolaknya.

Langkah demi langkah yang penuh waswas, banyak kendaraan yang berhenti mendadak karena kerusuhan keduanya. Beberapa sopir berteriak kesal karena perjalanan mereka terhambat oleh dua orang yang tidak tahu tempat menyeberang. Beberapa langkah lagi ia bisa meraih Casia yang sudah di depan mata. Namun, sebuah klakson tiba-tiba memenuhi gendang telinga dan nyaris membuatnya pecah. Tangannya yang hampir menyentuh pundak sang kekasih, kini urung. Sebuah truk menyambar Adnan dengan kecepatan tinggi, ia terpental hingga entah berapa meter jauhnya. Dari kepala sudah merembes cairan merah segar yang mengalir ke aspal, serupa teh tadi pagi yang dihisapnya, bedanya ini sangat kental dan amis.

Adnan masih melihat cahaya, orang-orang mengerumuninya. Di barisan paling depan, orang dengan jubah hitam itu muncul lagi. Badannya terasa kebas, tidak bisa digerakkan sama sekali. Lehernya terasa dicekik habis-habisan hingga tak lagi ada cahaya yang masuk ke mata. Riuh rendah kerumunan orang, deru kendaraan, dan dentangan jam dari menara, tak lagi bisa ia bedakan. Semua suara itu mulai meninggalkan pendengarannya, sedikit demi sedikit beriringan dengan rasa sakit yang mencekiknya. Casia, apakah kamu baik-baik saja?

Editor: Fatmawati

Ilustrasi: Adi Faiq

Leave a Reply