Till Death Do Us Part (Bagian 2)

Ruangan berpendingin udara seperti tidak memberikan pengaruh apapun. Bulir keringat sebesar biji jagung terus keluar dari pori-pori pelipis hingga mengalir membasahi sarung bantal. Tubuh yang masih berbaring itu terlihat kesulitan bergerak, matanya ke mana-mana tetapi masih terselimuti oleh kelopaknya. Jika bisa didengar, mungkin degup jantungnya sudah berdentang-dentang seperti jam kota yang memberitahukan waktu pada penduduk.

Napasnya tercekat, tubuhnya mulai bergerak di balik selimut yang membungkus erat. Beberapa detik kemudian sepasang mata itu berhasil terbuka, embusan napas besar-besar lolos dari mulut. Seketika tangan dan kakinya menghempas selimut dan bangkit duduk. Gila, sungguh mimpi yang gila. Kalau pun memimpikan sebuah kematian, ia hanya menyaksikan kematian orang lain, bukan dirinya sendiri. Adnan bergidik ngeri.

Diliriknya jam di meja sebelah ranjang, angka sebelas tertera di sana. Pandangan Adnan beralih pada cermin yang berdiri di seberang ranjang. Penampilannya acak-acakan dengan piyama biru muda yang sebagian dibasahi keringat. Adnan membutuhkan segelas teh untuk menguraikan pikirannya yang rumit. Pelan, ia berjalan menuju dapur. Meracik teh dan merebus air di panci. Setelah menuangkan air dengan suhu maksimal didihnya, Adnan meraih sendok dan mulai memutar-mutarkan membentuk pusaran air dalam gelas.

Pusaran air itu beriak, berputar dengan tidak tenang hingga beberapa tetes menciprat ke tangan Adnan. Pria itu berdecak pelan sembari menuju wastafel untuk membersihkan cairan merah terang yang membasahi tangannya. Sebersit ingatan tiba-tiba menyelundup ke otaknya, menampilkan visual yang sama persis dengan apa yang dialaminya saat ini.

“Kayak udah pernah mengalami hal ini deh, tapi kapan ya?” tanyanya pada diri sendiri, tanpa menghentikan kegiatannya.

Adnan melanjutkan, “mungkin karena hampir setiap hari aku menyeduh teh.” Setelah mengelap tangan, ia berjalan menuju ruang tempatnya menonton televisi.

  1. Pendaratan pantatnya mulus di sofa, menikmati cahaya matahari yang masuk dari dinding kaca di rumahnya. Disesapnya cairan merah cerah itu untuk memulai harinya yang singkat di hari libur. Adnan tidak tahu mengapa mimpi itu masih mengganggunya. Biasanya mimpi akan cepat dilupakan oleh otaknya, tetapi berbeda dengan mimpinya kali ini. Adnan menyandarkan punggung ke sofa untuk merilekskan badan.

Sebuah suara notifikasi dari ponsel menyita perhatiannya. Pesan dari sang kekasih terpampang di layarnya yang menyala. Kuharap kamu tidak lupa dengan janji makan siang ini. Sial, ia hampir saja lupa dan malah bersantai menyesap teh di sofa yang nyaman ini. Cepat-cepat pria itu menuju kamar mandi dan bersiap untuk menemui pengirim pesan tersebut.

Pakaiannya hari ini cukup sederhana, celana kargo, kaus, dan jaket. Adnan menuju restoran di dekat tempat tinggalnya yang sudah diputuskan menjadi tempat pertemuan mereka.  Di jalan, seseorang dengan jubah hitam seakan membawa ingatan Adnan ke dalam mimpinya yang mengerikan. Sosok itu begitu misterius dan menakutkan. Ia ingat betul dalam mimpinya sempat menanyai orang itu, kali ini ia cukup diam saja dan melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di restoran, Ia temukan kekasihnya dalam balutan pakaian berwarna biru tua, duduk manis menunggunya. Sudah tertebak, pertengkaran mereka semalam tak akan selesai secepat ini.

“Maaf membuatmu menunggu, aku bangun lebih siang hari ini. Seharusnya aku memasang alarm lebih pagi,” alibinya.

“Lupakan saja! Lagi pula, kamu mana pernah peduli padaku. Makan siang seperti ini saja tidak akan kamu setujui kalau aku belum mengemis-ngemis,” kata seorang perempuan yang usianya tak jauh di bawahnya, nadanya sinis dengan tawa tipis.

Dugaannya benar, wanita satu ini akan membuat perkara semakin panjang. Memberikan pengertian padanya hanya membuang waktu dan tenaga, maka ia memutuskan untuk diam mendengarkan omelan sang kekasih. Telinganya terpasang baik-baik, akan tetapi pandangannya menjelajah ke mana-mana. Seberang jalan, sosok berjubah itu terlihat. Semakin lama Adnan memandang, semakin jelas bahwa sosok itu benar-benar tengah menatapnya. Jika diperhatikan lebih seksama lagi, bibir sosok berjubah itu bergerak seakan mengatakan sesuatu. Namun, Adnan tentu bukanlah pembaca gerak bibir yang bisa memahami pikiran dan apa yang hendak disampaikan oleh sosok tersebut dai kejauhan seperti ini.

“Adnan, kamu mendengarku atau tidak?” tukas Casia dengan muka merah padam dan amarah yang tertahan. Pandangan Adnan sontak kembali terkunci pada sang kekasih.

“Pandang saja wanita di luar sana! Jangan lihat aku lagi, Nan. Sudahlah, aku terlalu lelah menghadapimu yang seperti ini.” Wanita itu bangun dari duduknya kemudian mulai melangkah menjauh dari mejanya, juga dari sang kekasih.

Adnan bangkit, ia harus mengejar wanitanya jika tidak ingin masalah menjadi runyam. Beberapa kali diserukan nama Casia tetapi wanita itu sama sekali tak acuh. Dari belakang Adnan bisa melihat Casia yang berjalan hampir berlari, rambut panjang bergelombangnya menari cantik di punggung. Gaun birunya terlihat kontras dan membuat kulitnya terlihat semakin terang. Ah, jika saja Casia tidak selalu bertingkah seperti ini dan tiba-tiba marah, ia akan terlihat lucu seperti saat pertama kali Adnan memberikan gaun itu sebagai kado.

“Sial, kenapa aku bisa lupa kalau hari ini adalah hari jadi kami? Mati saja kamu, Nan!” gerutunya di sepanjang langkah untuk bisa meraih tangan Casia kembali.

Namun, entah kenapa wanita itu berjalan lebih cepat dan berhasil keluar menuju jalanan. “Casia, berhenti! Dengarkan aku, sudahi ini, aku tahu aku yang salah, Cas.” Pria itu meraih tangan Casia cepat, membuatnya hingga berbalik badan.

“Aku tidak peduli lagi dengan pengakuan salahmu, Nan, karena kamu bahkan tidak ragu melakukan kesalahan lagi dan lagi meski kamu sudah mengakui kesalahanmu. Kurasa kita memang sudah nggak cocok, nikmati pekerjaanmu, Nan, juga wanita lain yang mungkin sudah kamu temukan,” jelasnya. Casia melepaskan genggaman Adnan dari pergelangan kirinya dengan sedikit kasar, menghempas tangan pria yang masih dicintainya itu, kemudian berbalik badan dan bergegas lebih cepat.

Sekelibat ingatan tentang mimpi itu muncul lagi. Ia ingat betul langkah kakinya berlari mengejar Casia, memanggil-manggil namanya, berharap kekasihnya bersedia untuk berhenti dan mendengarkan barang sedikit penjelasan darinya. Kepala Adnan seperti ditusuk sesuatu, pusing bukan main, telinganya berdengung seperti dimasuki lalat. Suara truk, hantaman yang menyakitkan, tubuh terlempar dan darah yang berceceran. Adnan memegang kepalanya erat, seakan ia takut kepala itu akan pecah saat ini juga.

“Tidak, Casia! Jangan menyeberang sekarang! Casia!”

Melihat Casia yang sudah mulai melangkah ke jalanan dan menyeberang tanpa memedulikan dirinya berada di zebra cross atau tidak, Adnan mulai kelimpungan. Matanya menjelajah sekeliling, sekilas melirik jam kota menunjukkan pukul 12.58, kemudian melihat kendaraan-kendaraan di jalanan yang ramai. Tidak, tidak mungkin Adnan melihat sosok berjubah hitam itu lagi di seberang jalan. Kecurigaannya terhadap sosok itu makin besar, bisa jadi dia adalah orang jahat yang sedang menyembunyikan diri. Dan Casia tidak boleh berpapasan dengan sosok itu.

Langkah demi langkah yang penuh waswas, Adnan terjun ke jalan sambil meneriaki nama Casia. Beberapa kendaraan berhenti mendadak karena kerusuhan keduanya. Para sopir berteriak kesal karena perjalanan mereka terhambat oleh dua orang yang tidak tahu tempat menyeberang. Beberapa langkah lagi ia bisa meraih Casia yang sudah di depan mata. Namun, sebuah klakson tiba-tiba memenuhi gendang telinga dan nyaris membuatnya pecah. Tangannya yang hampir menyentuh pundak sang kekasih, kini urung. Sebuah truk menyambar Adnan dengan kecepatan tinggi, ia terpental hingga entah berapa meter jauhnya. Dari kepala sudah merembes cairan merah segar yang mengalir ke aspal, serupa teh tadi pagi yang dihisapnya, bedanya ini sangat kental dan amis.

Adnan masih melihat cahaya, orang-orang mengerumuninya. Dari sudut mata, tertangkap tubuh Casia dengan balutan gaun biru tuanya yang sudah lemas tak berdaya di atas aspal. Jantungnya terasa diremas melihat kekasihnya yang mungkin sudah tidak bernyawa, dan ia sedang menunggu gilirannya. Badan pria itu terasa kebas karena kehilangan banyak darah, tidak bisa digerakkan sama sekali. Lehernya terasa dicekik habis-habisan hingga tak lagi ada cahaya yang masuk ke mata. Riuh rendah kerumunan orang, deru kendaraan, dan dentangan jam dari menara, tak lagi bisa ia bedakan. Semua suara itu mulai meninggalkan pendengarannya, sedikit demi sedikit beriringan dengan rasa sakit yang mencekiknya.

Kecuali satu suara yang menghampiri telinga Adnan, berbisik lirih, “Bukan kau yang seharusnya mati!”

Bukan aku?

Bukan aku?

“Bukan aku!”

Teriakan itu lolos dari mulut Adnan ketika ia berhasil membuka matanya dari mimpi mengerikan—lagi. Bisa dirasakan tubuhnya yang berbaring di kasur empuk, bukan aspal keras dipenuhi kerumunan orang-orang. Yang mengalir di pelipisnya bukan darah segar, melainkan keringat yang membasahi sarung bantal dan piyama. Pacu jantungnya masih belum menurun hingga pria itu memejamkan matanya lagi sejenak. Mengingat mimpi yang sudah dua kali menghampirinya.

Bukan kau yang seharusnya mati! Masih tersimpan dalam ingatan Adnan, sepenggal kalimat yang entah datangnya dari siapa.

Sosok berjubah hitam. Kecurigaan Adnan semakin besar pada sosok itu. Ia selalu hadir dalam mimpinya yang mengerikan, pembawaannya dingin dan menakutkan, akan sangat cocok jika kalimat itu memang keluar darinya. Pria itu dibuat frustasi dengan mimpi-mimpi aneh yang berulang, sosok mengerikan, kematian. Ia tidak bisa memahami apa yang terjadi padanya.

Apakah ini benar hanya sebuah mimpi? Mimpi di dalam mimpi? Pikir Adnan bertanya-tanya. Ia mulai tidak bisa membedakan realitas. Sosok berjubah hitam itu, ia yakin sosok itu memiliki jawaban atas kebingungannya.

Editor: Fatmawati

Ilustrasi: Adi Faiq

Leave a Reply